Search This Blog

Friday, August 12, 2011

HIV [Human Immunodeficiency Virus]


2.1 Konsep Dasar
2..1.1 Definisi HIV
HIV adalah Human Immunodeficiency Virus suatu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS, menyerang salah satu jenis sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk limfosit yang disebut “sel T-4” atau “sel T penolong” (T helper) atau “sel CD 4”.
HIV termasuk retrovirus yang mempunyai kemampuan untuk “mengkopi-cetak” materi genetic diri di dalam materi ginetik sel-sel yang ditumpanginya. Melalui proses ini HIV dapat mematikan sel-sel T4 (Dep.Kes, 1997).
Kerusakan progresif pada system kekebalan tubuh menyebabkan ODHA(Orang Dengan HIV AIDS) amat rentan dan mudah terjangkit bermacam-macam penyakit. Serangan penyakit yang biasanya tidak berbahayapun lama-kelamaan akan menyebabkan pasien sakit parah bahkan meninggal. Oleh karena penyakit yang menyerang sangat bervariasi, AIDS kurang tepat jika disebut penyakit. Definisi yang benar adalah sindrom atau kumpulan gejala penyakit (Dep.Kes, 1997).




2.1.2 Masa Inkubasi
Masa inkubasi adalah suatu periode waktu antara masuknya virus HIV ke dalam darah pada awal infeksi sampai dengan timbulnya gejala-gejala penyakit AIDS. Lamanya kira-kira 3 bulan sampai 10 tahun atau mungkin lebih lama lagi. Selama masa ini, masih ada window period atau fase laten dan jangka waktunya antara 3-4 bulan setelah HIV masuk ke dalam tubuh seseorang. Selama fase ini tes antibody terhadap virus ini belum cukup terbentuk sehingga hasil tesnya masih negative. Tes negative ini palsu, karena HIV sudah ada dalam tubuh penderita sehingga pada fase ini pengidap HIV sudah dapat menularkan virusnya kepada orang lain (Munijaya, 1999).
Menurut Dep. Kes. RI masa inkubasi atau masa laten sangat tergantung pada daya tahan tubuh masing-masing orang, rata-rata 5-10 tahun. Selama masa ini orang tidak memperlihatkan gejala-gejala walaupun jumlah HIV semakinbertambah dan sel T semakin menurun. Semakin rendah jumlah sel T-4 semakin rusak system kekebalan tubuh. Pada waktu system kekebalan sudah dalam keadaan parah seorang ODHA akan mulai menampakkan gejala-gejala AIDS.
2.1.3 Patogenesis
Setelah masuk tubuh, virus menuju ke kelelenjar limfe dan berada dalam sel dendritik selama beberapa hari. Kemudian terjadi sindrom retroviral seperti flu disertai viremia hebat dengan keterlibatan berbagai kelenjar limfe. Pada tubuh timbul respon imun homoral maupun selular. Sindrom ini akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu. Kadar virus yang tinggi dalam darah dapat diturunkan oleh system imun tubuh. Proses ini berlangsung berminggu-minggu sampai terjadi keseimbangan antara pembentukan virus baru dan upaya eliminasi oleh respon imun. Titik keseimbangan yang disebut “set point” ini penting karena menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Bila tinggi perjalanan penyakit menuju AIDS akan berlangsung lebih cepat.
Serokonversi atau perubahan antibody negatif menjadi positif terjadi 1-3 bulan setelah infeksi, tetapi pernah juga dilaporkan sampai 8 bulan. Kemudian pasien akan memasuki masa tampa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan bertahap jumlah CD 4 (jumlah normal 800 1.000/mm3), yang terjadi setelah replikasi persisten HIV dan kadar DNA virus relative konstan. CD 4 adalah reseptor pada limfosit T 4 yang menjadi target sel utama HIV. Pada awalnya penurunan jumlah CD 4 sekitar 30-60 /mm3/tahun. Tapi pada 2 tahun terakhir penurunan jumlah menjadi 50-100/mm3/tahun sehingga bila tampa pengobatan rata-rata masa infeksi HIV sampai menjadi AIDS 8-10 tahun, dimana jumlah CD 4 akan menjadi kurang dari 200/mm3 (Mansjoer, 2000).

2.1.3 Perjalanan Penyakit
Secara singkat perjalanan penyakit HIV/AIDS menurut Dep. Kes. RI di bagi dalam :
1. Stadium I : HIV
Dimulainya infeksi setelah virus masuk dan diikuti perubahan serologi ketika antibody terhadap virus tersebut dari negatif berubah menjadi positif. Rentang waktu sampai dengan tes antibodi disebut window period yang berlangsung kurang lebih 1-3 bulan sampai 6 bulan.
2. Stadium II : Asimtomatik atau tampa gejala
Keadaan dimana didalam organ tubuh terhadap HIV tetapi tubuh tidak menunjukkan gejala, hal ini dapat berlangsung rata-rata 5-10 tahun.
3. Stadium III : Pembesaran kelenjar limfe
Keadaan yang ditandai dengan pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata, tidak hanya muncul di satu tempat, berlangsung lebih dari 1 bulan.
4. Stadium IV : AIDS
Kondisi yang disertai bermacam-macam penyakit, terutama penyakit infeksi sekunder, hal ini ketika sel T 4 dibawah 200/mm3.
2.1.4 Gambaran Klinis
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spectrum yang lebar, mulai dari infeksi tampa gejala (asimtomatik) pada stadium awal sampai pada gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya infeksi HIV menjadi AIDS belum diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang-ulang dan pemaparan terhadap infeksi-infeksi lain yang mempengaruhi perkembangan kearah AIDS. Menurunnya hitungan sel CD 4 dibawah 200/ml menunjukkan perkembangan yang semakin buruk. Keadaan yang memburuk juga ditunjukkan oleh peningkatan B2 mikro globulin, p24 (antibodi terhadap protein care) dan juga peningkatan IgA.
Untuk lebih memberikan pemahaman tentang gambaran dan perjalanan klinik infeksi HIV telah dikemukakan beberapa klasifikasi atau tahap-tahap infeksi.
CDC (center for desease cntro, USA 1986) menetapkan klasifikasi infeksi HIV pada orang dewasa sebagai berikut :
Kelompok I : Infeksi akut.
Kelompok II : Infeksi asimtomatis.
Kelompok IV : Penyakit-penyakit lain.
Kelompok IVa : Penyakit konstitusi (panas, diare, kehilangan BB).
Kelompok IVb : Penyakit-penyakit neurologist (ensefalitis, dimensia).
Kelompok IVc : Penyakit-penyakit infeksi skunder (Pneumosytis carini, Citomegalo virus).
Kelompok IVd : Kangker sekunder (sarcoma Kaposi, limpoma nonhodgkin).
Kelompok IVe : Keadaan-keadaan lain.
Untuk kepentingan klinis, khususnya berkaitan dengan inisiatif pengobatan dan memperkirakan prognosis, klasifikasi yang lebih memadai ialah dengan memakai hitungan sel CD 4 karena perkembangan jumlah sel CD 4 dalam darah sangat berkaitan dengan status imunitas penderita.
Gambaran klinis yang sesuai dengan perjalanan penyakit dan lebih bermanfaat bagi kepentingan klinik diuraikan dalam fase-fase berikut :
1. Infeksi Akut : CD 4: 750-1000
Gejala infeksi akut biasanya timbul sesudah masa inkubasi selama 1-3 bulan. Gejala yang timbul umumnya seperti imfluensa (flu like syndrome; demam, atralgia, malaise, anoreksia), gejala kulit (bercak-bercak merah, utikaria), gejala syaraf (sakit kepala, nyeri retrobulber, radikulopati, gangguan kognitif, dan afektif), gangguan gastrointestinal (nausea, vomitus, diare, kandidiasis orofaringis). Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut di atas, merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya virus dan berlangsung kira-kira 1-2 minggu. Serokonversi terjadi pada fase ini dan antibodi virus mulai dapat dideteksi kira-kira 3-6 bulan sesudah infeksi.
Hampir semua kasus infeksi HIV mengalami gejala klinis tesebut dan nampaknya perlu dipahami untuk menegakkan diagnosis dini dan mengabil langkah-langkah selanjutnya.
2. Infeksi klinis simtomatik
Fese ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat imunitas penderita.
a. Penurunan Imunitas sedang CD 4 200-500
Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya reaktivitas dari herpes zoster atau herpes simpleks, namun dapat sembuh spontan atau hanya dengan pengobatan biasa. Penyakit kulit seperti dermatitis seboroik, veruka vulgaris, moloskum katamiasum atau kandidiasis oral sering timbul. Keganasan juga sering timbul pada fase yang lebih lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlajut ke sub-fase berikutnya (sub-fase B), demikian juga yang disebut AIDS Related Complex (ARC).
Keadaan yang disebut AIDS (CDC, revisi 1993) dapat terjadi pada sub-fase ini; misalnya bila sudah ditemukan sarcoma Kaposi, limfoma non-hodgkin dan lainnya.
ARC (AIDS Related Complex) adalah keadaan yang ditandai oleh paling sedikit dua gejala dari gejala-gejala berikut :
Demam yang berlangsung > 3 bulan
Penurunan berat badan > 10%
Limfadenopati berlangsung > 3 bulan
Diare
Kelelahan dan keringat malam;
Dengan ditambah paling sedikit 2 kelainan laboratorium berikut :
T4 < 400/ml Ratio T4/T8 < 1.0 Leukotrombositopenia dan anemi Peningkatan serum immunoglobulin Penurunan blastogenesis sel limfosit Tes kulit anergi b. Penurunan immunitas berat: CD 4 < 200 Pada sub-fase ini terjadi imfeksi oportunistik berat yang sering mengacam jiwa penderita, seperti Pneucystitis caranii (PCP), toksoplasma, Cryptococcosis, tuberkulosa, Cyptomegalo virus (CMV) dan lainnya. Keganasan juga timbul pada sub-fase ini meskipun sering pada fase yang lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan boleh dikatan tubuh sudah dalam dalam kadaan kehilangan kekebalanya (Wirya Duarsa, 2005). 2.1.6 Pemeriksaan Penunjang Dalam memastikan seseorang terinfeksi HIV (Munijaya, 1999) dapat dilakukan beberapa tes antibodi : 1. Tes pada set yang dihasilkan didalam darah untuk melawan virus penyebab AIDS, jenis tesnya : latex aglination, ELISA dengan sensitifitas 98,1-100% dilanjutkan dengan tes westrn blot dengan spesifitas tinggi sekitar 99,6-100%, IFA (Immuno Flourecent Assay). Ada kemungkinan tes HIV memberikan hasil positif (positif palsu) sebaliknya dapat juga bersangkutan mengidap HIV, tetapi tes HIV memberikan tes negatif (negatif palsu). 2. Tes cairan tubuh (urine dan air liur). 2.1.6 Penatalaksanaan Menurut Mansjoer (2001) penatalaksanaan HIV/AIDS meliputi penalaksanaan fisik, pkologis, dan sosial. Penatalaksanaan medik terdiri atas : 1. Pengobatan suportif 1) Nutrisi dan vitamin yang cukup 2) Bekerja 3) Pandangan hidup yang positif 4) Hobi 5) Dukungan psikologis 6) Dukungan sosial 2. Pencegahan serta pengobatan infeksi oportunistik 3. Pengobatan antiretroviral Saat memulai pengobatan : 1) Asimtomatik ; CD 4 >500 tapi RNA HIV (viral load) tinggi (lebih dari 30.000 kopi/ml).
2) Asimtomatik, CD 4 >350 (boleh ditunda bila CD 4 >350 dari viral load rendah <10.000).
3) Infeksi HIV dengan gejala.
Sekarang yang dianut adalah pengobatan kombinasi dengan kombinasi tiga obat, terdiri dari dua inhibitor reverse transcriptase dan satu inhibitor ensim protease. Mono terapi (ddI atau d4T) hanya dipertimbangkan bila pengobatan kombinasi tak dapat dilakukan atau pasien telah menggunakn monoterapi dalam waktu yang lama dan hasil klinis maupun pemantauan laboratorium tetap baik (CD 4 baik).

2.2 Dukungan Keluarga
2.2.1 Pengertian Dukungan Sosial
Dukungan sosial adalah terdiri atas informasi atau nasehat verbal dan non verbal, bantuan nyata atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau prilaku bagi pihak penerima.
2.2.2 Sumber Dukungan
Ada tiga sumber utama dukungan yaitu :
a. Dukungan dari diri sendiri.
b. Dukungan dari orang lain.
c. Dukungan dari sumber-sumber lain.


2.2.3 Dukungan Sosial sebagai Salah Satu perubah Stress
Dukungan sosial telah mendapat banyak perhatian selama dasawarsa terakhir ini. Bagian terbesar literatur dan penelitian telah membanjiri pasar kesehatan dan stress (Geston dan Jason, 1987). Tetapi jumlah literatur tidak menjadi jaminan untuk penglihatan yang jelas tentang dukungan sosial dan masih menunjukkan kekurangan kejelasan tetang apa arti sebenarnya. Ketika seorang anggota keluarga dibuat stress oleh stressor-stressor anggota keluarga yang lain merasa perlu menyesuaikan situsi yang berubah. Mereka melakukan hal ini dengan mendukung secara fungsional atau dengan menyerang individual dengan mode fungsional. Mereka juga tetap mejaga masalah tetap berada dalam suatu subsistem, walaupun stressor di luar keluarga tetap ada dan penting, efek-efeknya merembes atau muncul kedalam subsistem yang lain, sehingga mempengaruhi seluruh keluarga (Fridment, 1998).
2.2.4 Jenis atau Dimensi Dukungan Sosial
Sarafino (1990) membedakan empat jenis atau dimensi dukungan sosial (Smeet B, 1994) yaitu :
1. Dukungan emosional : mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan.
2. Dukungan penghargaan : terjadi lewat ungkapan hormat atau penghargaan positif untuk orang itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan membandingkan positif orang itu dengan orang lain, seperti misalnya orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruknya keadaan.
3. Dukungan instrumental : mencakup bantuan langsung, seperti kalau orang-orang memberi pinjaman uang kepada orang itu atau menolong dengan pekerjaan pada waktu mengalami stress.
4. Dukungan imformatif : mencakup memberi nasehat, petunjuk-petunjuk, saran-saran atau umpan balik.
2.2.5 Cara Memberi Dukungan
Cohan dan McKay (1984) yang dikutif oleh Niven (2002) menampilkan suatu model kondisi-kondisi di mana jaringan dukungan seseorang akan menurun atau mencegah stress. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa jaringan sosial memberikan efek penyangga terhadap kejadian-kejadian yang penuh stress. Ada tiga tipe mekanisme dukungan atau cara memberi dukungan :
1. Dukungan Nyata
Meskipun sebenarnya setiap orang dengan sumber-sumber yang mencukupi dapat memberi dukungan dalam bentuk uang atau perhatian, dukungan nyata merupakan paling efektif bila dihargai oleh penerima dengan tepat. Pemberian dukungan nyata yang berakibat pada perasaan ketidak adekuatan, akan benar-benar menambah stress individu.
2. Dukungan Pengharapan
Kelompok dukungan dapat mempengaruhi persepsi individu akan ancaman. Dukungan sosial menyangga orang-orang untuk melawan stress dengan membantu mereka mendefinisikan kembali situasi tersebut sebagai ancaman kecil. Arahkan pada orang yang sama yang telah mengalami situasi yang sama untuk mendapatkan nasehat dan bantuan. Bagaimanapun dukungan sosial hanya akan membantu jika stressor tersebut secara sosial dapat diterima. Kelompok pendukung yang bertindak sebagai kelompok pembanding melayani untuk mengurangi ancaman dengan mengikut sertakan individu membadingkan diri mereka sendiri dengan orang lain yang merasakan hal yang lebih buruk. Dukungan sosial dapat juga membantu meningkatkan strategi koping individu dengan menyarankan strategi-strategi alternatif yang didasarkan pada aspek-aspek yang lebih positif dari situasi tersebut.
3. Dukungan Emosional
Jika stress mengurangi perasaan seseorang akan hal dimiliki dan dicintai, dukungan emosional dapat menggantinya atau menguatkan perasaan-perasaan ini. Stress yang tidak terkontrol dapat berakibat pada hilangnya harga diri. Jika hal ini terjadi, jaringan pendukung memainkan peran yang berati dalam meningkatkan pendapat yang rendah terhadap diri sendiri. Kejadian-kejadian yang mengakibatkan seseorang merasakan hilang perasaan memiliki dapat diperbaiki dengan bentuk dukungan yang mengembangkan hubungan personal yang relatif intim.
Jadi dukungan sosial hanya dapat lebih efektif bila hubungan interpersonal seseorang memberi sumber-sumber yang memenuhi keperluan koping dari suatu kejadian yang penuh stress. Hobfoll (1988) yang dikutif oleh Niven (2000) berpendapat bahwa stress dipermudah oleh kehilangan, terancam kehilangan, dari sumber-sumber, apakah personal, fisik atau fsikologis. Individu merasakan stress bila sumber-sumber tampak seperti lebih banyak keluar. Jadi stress dan dukungan sosial sangat berhubungan dengan faktor-faktor personal dan jaringan sosial.

2.2.6 Hubungan Dukungan Sosial dan Kesehatan
Jumlah dukungan yang kita terima dari orang lain banyak yang tergantung pada jaringan sosial kita, yaitu suatu hubungan yang kita pertahankan dengan anggota keluarga, teman dan tetangga. Jaringan ini dapat dikatagorikan dalam ukuran dan densitasnya. Beberapa orang hanya mempunyai jaringan sosial kecil yang berinteraksi hanya dengan sedikit orang, sementara orang lain mempunyai jaringan besar, melibatkan banyak hubungan. Beberapa jaringan bersifat padat dimana tingkat interaksi dengan orang lain tinggi sementara jaringan lain kurang interaksi. Menurut broadhead (1983) yang dikutif oleh Abraham (1997), Jenis jaringan sosial kita pertahankan dan karenanya jumlah dukungan sosial yang kita terima tergantung pada jumlah faktor, termasuk ukuran masyarakat lokal kita, status perkawinan, usia dan kemampuan menggerakkan dukungan (broadhead, 1983). Orang yang hidup pada suatu komunitas dengan populasi kurang dari 2500 nampaknya menikmati dukungan informal lebih besar daripada para penghuni kota. Mereka yang menikah pada umumnya mendapatkan dukungan informal lebih besar daripada orang yang tidak pernah menikah.sebagai mana kita bertambah tua jaringan sosial kita mengkerut ukurannya dan jumlah dukungan informal yang diterima menurun.
Dukungan sosial secara fsikologis dipandang sebagai hal yang kompleks. Wortman dan Dunkell-Scheffer (1987) mengidentifikasi beberapa jenis dukungan yang meliputi ekspresi perasaan positif, termasuk menunjukkan bahwa seseorang diperlakukan dengan rasa penghargaan yang tinggi dan seperti dibahas diatas, ekspresi persetujuan dengan atau pemberitahuan tentang ketepatan keyakinan dan perasaan seseorang. Ajakan untuk membuka diri dan mendiskusikan keyakinan dan sumber-sumber juga merpakan bentuk dukungan sosial. Jenis dukungan ini dapat sebagai hal utama bagi pembentukan hubungan saling membantu, apakah ini sebagai hubungan persahabatan atau konseling professional Abraham (1997).
Sebagai tambahan pada dukungan psikologis seperti itu penguasaan bantuan material misalnya uang, atau bantuan terampil seperti bantuan pekerjaan rumah tangga atau perawatan anak, merupakan bentuk penting dari dukungan sosial setiap hari. Akhirnya, pemastian kembali bahwa seseorang terlibat dalam suatu dukungan atau suatu jaringan hubungan yang secara potensial dapat memberikan bantuan dapat marupakan suatu bentuk dukungan yang kuat. Karenanya, kita mencari untuk mendapatkan bentuk dukungan yang berbeda dalam aturan dan keterbatasan jenis hubungan yang berbeda yang membentuk jaringan-jaringan sosial kita.
2.2.7 Pengaruh Dukungan Sosial pada Kesehatan Fisik dan Mental
Nampaknya, hubungan yang dekat berperan sebagai suatu senjata untuk melawan pengalaman stress pada saat kita berhadapan dengan kejadian hidup yang mengancam. Oatley (1988) yang dikutif oleh Abraham (1997) menunjukkan bahwa banyak dari kejadian hidup yang sifatnya mengancam ini melibatkan hilangnya peran utama dari identitas sosial sehingga mengurangi aspek penting dari refresentasi diri orang. Ia berpendapat bahwa depresi terjadi bila orang gagal mengenal suatu peran alternatif dimana mereka dapat menyusun kembali rasa nilai atau penghargaan diri mereka. Karenanya kekuatan perlindungan dari hubungan dekat mungkin pada kemampuannya untuk membantu orang menyadari bahwa orang lain menghargainya dan untuk mengalami cara berfikir baru tentang dirinya setelah kehilangan elemen diri mereka yang penting setiap hari. Mempertahankan kesejahtraan seseorang mungkin secara kuat dipengaruhi oleh dukungan sosial yang ia terima. Misalnya, Munford (1982) menemukan bahwa kembali pada kondisi sejahtera juga dipengaruhi oleh dukungan sosial. Penemuan mereka menunjukkan bahwa rata-rata lama tinggal di rumah sakit dua hari lebih pendek pada pasien yang mendapatkan dukungan sosial daripada mereka yang tidak mendapatkan dukungan (Abraham 1997).
Jenis dukungan sosial yang paling membantu bagi pasien yang mungkin tegantung pada masalah kesehatan mereka, dan dukungan peran dengan orang lain. Dunhell-Schetter (1982) yang dikutif oleh Abraham (1997) menemukan bahwa dukungan informasional dan emosional dipandang sebagai hal yang paling membantu. Secara keseluruhan telah jelas bahwa apapun mekanisme psikologis sosial yang terlihat, dukungan sosial mendorong kesejahtraan. Disamping pentingnya dukungan sosial, orang yang sakit mungkin secara nyata menerima dukungan sosial sedikit
Menurut Dunhell-Schetter dan Wortman (1982) kesalah pahaman penolong terhadap kebutuhan orang lain dapat menyebabkan respon yang tidak membantu. Misalnya, penolong mungkin yakin bahwa mereka harus tetap riang dan optimis dalam menghadapi orang sakit Abraham (1997). Namun, jika mereka merasa tidak dapat memenuhi harapan ini mereka mungkin menciptakan diskusi terbuka tentang penyakit dan merasa tidak nyaman dalam berinteraksi dengan penderita. Hal ini dapat membangkitkan berbagai bentuk penarikan diri. Orang sakit nampaknya menerima hal ini sebagai suatu penolakan, dan disamping jaringan sosial memberikan dukungan pada suatu waktu terjadi krisis, prilaku anggota sendiri mungkin suatu sumber stress tambahan (Abraham, 1997).
Menurut Wills (1985) Kesalah pengertian mungkin berdasarkan pada kesalahan atribusi. Bila kita mengatribusikan pikiran orang pada ciri-ciri dan aktivitas mereka sendiri kita mungkin merasa tidak ada tanggung jawab untuk membantu. Hal ini akan mengurangi keinginan menolong dan mungkin mengakibatkan perilaku tidak peka dan tidak peduli seperti menyalahkan penderita (Abraham, 1997). Kita juga telah mencatat bahwa pemberian pertolongan di hambat oleh biaya atau resiko yang dirasakan oleh penolong. Berhubungan dengan orang lain yang cacat atau yang mengalami nyeri mungkin membuat stress bagi penolong, terutama jika upaya-upaya mereka nampaknya mempunyai pengaruh kecil. Untuk itu hubungan saling membantu mungkin rusak jika pemberi bantuan menjadi tidak bermoral dan mulai menghitung biaya pemberian bantuan. Jarak sosial munngkin diciptakan oleh mereka yang mungkin mendapatkan manfaat dari hubungan membantu karena yakin bahwa kondisi mereka tidak diterima.

2.3 Konsep Keluarga
2.3.1 Pengertian Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Efendy N, 1998). Menurut Friedment (1998) dalam analisa konsep tentang keluarga sebagai unit yang perlu dirawat, dalam perawatan ia mendefinisikan keluarga sebagai kelompok yang mendifinisikan diri dengan anggotanya terdiri dari dua individu atau lebih yang asosiasinya dicirikan oleh istilah-istilah khusus, yang boleh jadi tidak diikat oleh hubungan darah atau hukum.
Keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan atau adopsi yang hidup dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dalam perannya untuk mencitakan dan mempertahankan suatu budaya (Rasmun, 2001).
2.3.2 Interaksi Antara Sehat atau Sakit dan Keluarga
Status sehat atau sakit para anggota keluarga dan keluarga saling mempengaruhi satu sama lain. Satu penyakit dalam keluarga mempengaruhi seluruh keluarga. Menurut Friedment (1998) keluarga cenderung menjadi seorang reactor terhadap masalah-masalah kesehatan dan menjadi aktor dalam menentukan masalah-masalah kesehatan anggota keluarga. Keluarga merupakan utama bagi kesehatan dan konsep-konsep penyakit, serta prilaku sehat. Dalam hal tertentu keluarga cenderung terlibat dalam pembutan keputusan dan proses terapeutik pada setiap tahap sehat dan sakit para anggota keluarga, mulai dari keadaan sehat atau ketika mulai diajarkan pengenalan kesehatan dan strategi-strategi kesehatan hingga diagnosa, tindakan dan penyembuhan.
Proses menjadi seorang pasien dan mendapat pelayanan kesehatan meliputi serangkaian keputusan dan peristiwa yang terlibat interaksi antara sejumlah orang, termasuk keluaga, teman-teman dan para profesional yang menyediakan jasa perawatan. Berbicara secara umum peran yang dimainkan oleh dalam proses ini bervariasi sari waktu kewaktu, tergantung pada kesehatan individu, jenis masalah kesehatan apakah termasuk akut, kronis atau ganas serta tingkat perhatian dan keterlibatan keluarga.
2.3.3 Peran Keluarga
Secara umum keluarga mampu melaksanakan perannya apabila keluarga mampu melaksanakan lima tugas kesehatan menurut Baylon dan Maglaya (1978) yang dikutif oleh Effendi N (1998) :
1. Mengenal masalah kesehatan.
2. Membuat keputusan tindakan kesehatan.
3. Memberi perawatan pada anggota keluarga.
4. Menciptakan lingkungan keluarga yang sehat.
5. Menggunakan sumber yang ada di masyarakat.
2.3.4 Tugas Keluarga Dalam Bidang Kesehatan
Keluarga mempunyai tugas pemeliharaan kepada para anggotanya dan saling memelihara. Menurut Friedman (1998) ada lima tugas kesehatan yang harus dilakukan oleh keluarga, yaitu :
1. Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggotanya.
2. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat.
3. Memberikan perawatan kepada anggota keluarganya yang sakit dan yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda.
4. Mempertahankan suasana dirumah yang menguntungkan kesehatan dan parkembangan kepribadian anggota keluarga.
5. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga-lembaga kesehatan, yang menunjukkan kemanfaatan dengan baik dengan fasilitas yang ada.


2.4 Mekanisme Koping
2.4.1 Pengertian Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu secara psikologis dalam melesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, respon terhadap situasi yang mengancam, dimana upaya-upaya individu tersebut dapat berupa perubahan cara berpikir (kognitif), perubahan tingkah laku atau perubahan lingkungan yang bertujuan untuk menyelesaikan stress yang dihadapi (Keliat BA, 1998).
Sedangkan menurut Rasmun (2004) mekanisme koping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan situasi stresfull. Koping tersebut adalah merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik. Secara alamiah baik disadari ataupun tidak, individu sesungguhnya telah menggunakan strategi koping dalam menghadapi stress. Strategi koping adalah cara yang dilakukan untuk merubah lingkungan atau situasi atau menyelesaikan masalah yang didihadapi. Koping diartikan sebagai usaha perubahan kognitif dan prilaku secara konstan untuk menyelesaikan stress yang dihadapi.
2.4.2 Pengertian Stres
Stress adalah respon tubuh yang tidak spesifik terhadap setiap kebutuhan tubuh yang tidak terganggu, suatu fenomena universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tidak dapat dihindari, setiap orang mengalaminya, stress memberi dampak secara total pada individu yaitu terhadap fisik, psikososial, intelektual, sosial, dan spiritual, stress dapat mengancam keseimbangan fisiologis. Stress emosi dapat menimbulkan perasaan negatif atau dekstruktif terhadap diri sendiri dan orang lain. Stress intelektual akan mengganggu persepsi dan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan masalah, stress sosial akan mengganggu hubungan individu terhadap kehidupan (Sunaryo, 2004). Stress adalah suatu keadaan dimana orang yang mengenalinya bila terjadi pada orang lain, tetapi sering luput mengenalinya bila mengalami sendiri. Stress timbul apabila manusia manusia merasa tidak sanggup mengatasi apapun yang dituntut dari manusia.
Stress adalah segala situasi dimana tuntutan non spesifik mengharuskan seseorang individu untuk berespon atau melakukan tindakan (Grainger, 1999). Menurut Maramis (1999) yang dikutif oleh Sunaryo (2004) stress adalah segala masalah atau tutuntan yang dimana manusia mengadakan penyesuaian diri karena itu sesuatu yang mengganggu keseimbangan kita.
2.4.3 Stresor
Stressor adalah variabel yang dapat didentifikasikan sebagai penyebab timbulnya stress, datangnya stressor dapat sendiri-sendiri atau dapat pula bersamaan. Tidak hanya stresor negative yang menyebabkan stress tetapi stressor positifpun dapat menyebabkan stress, misalnya kenaikan pangkat, promosi jabatan, tumbuh kembang, menikah, mempunyai anak dll. Semua perubahan yang terjadi pada daur kehidupan (Rasmun, 2004).
Stresor merupakan kejadian dalam hidup yang menimbulkan stress internal dan membutuhkan respons-respons koping. Stressor-stresor hidup sebagaimana dinyatakan oleh banyak bukti, berdasarkan penyebab berhubungan dengan sakit mental dan fisik.
Dibawah ini contoh stressor seperti yang diuraikan oleh Esperansa (1997) yang dikutif oleh Rasmun (2004) Fundamental of nursing practice a nursing poscess approach ;
1. Perubahan patologi dari penyebab penyakit atau suatu injuri.
2. Trauma (injuri, luka bakar, serangan, elektrik, shok).
3. Tidak adekuatnya; makanan, kehangatan, dan pencegahan.
4. Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar (kelaparan, gangguan seksual).
5. Program terapi (diet, terapi fisik, psikoterapi).
6. Kekacauan hubungan social dan keluarga.
7. Konflik sosial dan budaya.
8. Perubahan fisiologis yang normal (pubertas, menstruasi, kehamilan dan menopouse.
9. Peristiwa yang menyebabkan stressfull (peristiwa yang penting dalam kehidupan sosial, ujian, wawancara, diagnostic test).
10. Membayangkan ancaman dari injuri (sumber dari stress yang tidak dapat dipastikan).
11. Bencana alam (gempa bumi, banjir).
12. Serangan wabah, bakteri, virus atau paratis.
13. Isolasi sosial.
14. Kompetisi dalam olah raga.
15. Perpindahan tempat tinggal.
16. Peperangan.
17. Kegiatan sehari-hari dari kehidupan (entertaining, pengemudi).
18. Situsi positif dari peristiwa kehidupan (menikah, mempunyai bayi, lulus dari kuliah).
2.4.4 Sumber stress
Sumber stress dapat berasal dari dalam tubuh dan diluar tubuh, sumber stress dapat berupa biologic/fisiologik, kimia, psikologik, social dan spiritual, terjadinya stress karena stressor tersebut dirasakan dan dipersepsikan oleh individu sebagai suatu ancaman sehingga menimbulkan kecemasan yang merupakan tanda umum dan tanda awal dari gangguan kesehatan fisik dan psikolgis.
Menurut Maramis (1999) yang dikutif oleh Sunaryo (2004), ada empat sumber atau penyebab stress psikologis, yaitu :
1. Frustasi
Timbul akibat kegagalan dalam mencapai tujuan karena ada hambatan yang tidak bisa diatasi. Frustasi ada yang bersifat intrinsik (cacat badan dan kegagalan usaha) dan ekstrinsik (kecelakaan, bencana alam, kematian orang yang dicintai, kegoncangan ekonomi, pengangguran, menderita penyakit, dan lainnya).
2. Konflik
Timbulnya karena tidak bisa memilih antara dua atau lebih macam keinginan, kebutuhan, atau tujuan. Bentuknya approach-approach conflict, approach-avoidance conflict, atau avoidance-avoidance conflict.
3. Krisis
Krisis yaitu keadaan yang mendadak, yang menimbulkan stress pada individu.
4. Tekanan
Timbul sebagai akibat tekanan hidup sehari- hari, tekanan bisa berasal dari dalam diri individu itu sendiri.
2.4.5 Sifat stressor
1. Bagaimana individu mengekspresikan stressor; artinya stressor diekspresikan akan berakibat buruk bagi dirinya maka tingkat stress yang dirasakan akan berat, namun sebaliknya jika stressor dipersepsikan tidak mengancam dan individu marasa mampu mengatasinya maka tingkat stress yang dirasakan akan lebih ringan.
2. Bagaimana intensitasnya terhadap stimulus, artinya bagaimana tingkat intensitas serangan stress terhadap induvidu, jika intensitas serangan stress tinggi maka kemungkinan kekuatan fisik dan mental tidak mampu mengadaptasinya, demikian juga sebaliknya.
3. Jumlah stressor yang dihadapi dalam waktu yang sama, artinya pada waktu bersamaan bertumpuk sejumlah stressor yang harus dihadapi, sehingga stressor kecil dapat menjadi pemicu (pencetus) yang mengakibatkan reaksi yang berlebihan. Sering ditemukan seseorang yang biasanya dapat menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dengan baik, namun tiba-tiba ia tidak dapat mengerjakannya, ini disebabkan pada saat yang sama ia sedang menghadapi banyak stressor.
4. Lamanya pemaparan stressor, memanjangnya stressor dapat menyebabkan menurunnya kemampuan individu menghadapi stress, karena individu telah berada pada fase kelelahan, individu sudah kehabisan tenaga untuk manghadapi stressor tersebut.
5. Pengalaman masa lalu, mempengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi stressor yang sama misalnya; individu yang satu tahun yang lalu dirawat karena sakit, dengan pengalaman yang negatif maka saat dirawat kembali individu akan sangat cemas, demikian pula sebaliknya.
6. Tingkat perkembangan, pada tingkat perkembangan tertentu terdapat jumlah dan intensitas stressor yang berbeda sehingga resiko terjadi stress pada tiap tingkat perkembangan akan berbeda.
2.4.6 Manifestasi psikologis individu terhadap stress.
1. Kecemasan
Cemas adalah perasaan yang tidak menyenangkan, tidak menentu dari individu dimana penyebabnya tidak pasti atau tidak ada objek yang nyata. Cemas dapat digolongkan menjadi: cemas ringan, cemas sedang dan cemas berat.
2. Marah
Marah adalah suatu reaksi emosi yang subyektif atau kejengkelan dan ketidak puasan individu terhadap tututan yang tidak terpenuhi.
Ada tiga cara ekspresi marah yang konstruktif;
1). Perhatian; yaitu aksi mencari perhatian orang lain dengan cara memanggil nama.
2). Mencari penjelasan yaitu proses mencari penjelasan atas masalah yang menyebabkan marah.
3). Identifikasi yaitu mencari respon dan dukungan orang lain.
2.4.7 Manifestasi Kognitif Individu Terhadap Stress.
Manifstasi kognitif adalah reaksi dari individu yang mengalami stress dengan menggunakan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi.

1. Penyelesaian masalah
Individu melakukan identifikasi dan menetapkan masalah penyebab stress, kemudian dengan kemanpuan kognitif menyelesaikan masalah dengan cara memilih dan melaksakan alternatif dan mengevaluasi keberhasilan dan keefektifan upaya yang dilakukannya.
2. Strukturisasi
Menata atau memanipulasi situasi agar kejadian yang mengancam tidak muncul kembali.
3. Desiplin diri (self-control)
Tindakan yang dilakukan oleh individu adalah melatih diri membiasakan kebiasaan yang dapat menghidari timbulnya stress.
4. Supresi
Menekan perasaan yang tidak menyenangkan kedalam alam sadar.
5. Fantasi dan melamun
Kebutuhan yang tidak tercapai dibayangkan tercapai, sehingga hasilnya tidak realistis.
6. Berdoa atau sembahyang
Upaya menyelesaikan masalah dengan cara berserah diri kepada Yang Maha Pencita. Namun harus disertai dengan upaya dalam bentuk tindakan.
2.4.8 Macam-macam Koping
1. Koping psikologis
Pada umumnya gejala yang ditimbulkan akibat stress psikologis tergantung pada 2 faktor yaitu :
1) Bagaimana persepsi atau penerimaan individu terhadap stressor, artinya seberapa berat ancaman yang dirasakan oleh individu tersebut terhadap stressor yang diterimanya.
2) Keefektifan strategi koping yang digunkan oleh individu, artinya dalam menghadapi stressor, jika strategi yang digunakan efektif maka menghasilkan adaptasi yang baik dan menjadi suatu pola dalam kehidupan, tetapi jika sebaliknya dapat mengakibatkan gangguan kesehatan fisik maupun psikologis.
Menurut Niven (2004), ada sembilan jenis respon koping yang berorientasi pada tugas adaftif :
a. Analisis logis dan persiapan mental.
Suatu kemampuan untuk menaruh perhatian pada suatu aspek dari krisis dalam satu waktu, kemudian individu membagi masalah yang tampaknya sangat besar menjadi bagian-bagian yang kecil sehingga masalah dapat ditangani.
b. Redefinisi kognitif.
Suatu kemampuan untuk menerima kenyataan dari kejadian yang dialami dan menyusunnya kembali menjadi pengalaman yang lebih dapat diterima sehingga didapatkan hal-hal yang positif dari kejadian tersebut.
c. Penghindaran dan pengingkaran positif.
Kemampuan untuk merespon suatu kejadian akibat dari suatu stress dengan menghindari dan mengingkari kejadian yang dianggap sebagai stressor untuk sementara waktu. Ketrampilan ini sering kali dianggap maladaftif tetapi sangat penting bagi individu untuk mengadakan penyesuaian dalam waktu singkat.
d. Pencarian informasi.
Kemampuan ini terbagi menjadi tiga macam yaitu : kemampuan untuk memperoleh informasi tentang keadaan yang dialami, menilai tindakan alternative dan memperkirakan hasil akhir yang mungkin terjadi, mencari dukungan keluarga, teman, orang lain yang mampu menolong dimasyarakat. Hal ini merupakan sumber kekuatan pada masa-masa sulit.
e. Melakukan pemecahan masalah
Kemampuan ini mengacu pada kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam beberapa waktu, sehingga pada suatu saat dapat menimbulkan rasa mampu serta harga diri bagi individu dalam menyelesaikan masalah yang terjadi.
f. Pengejaran terhadap penghargaan alternatif.
Suatu kemampuan untuk mencari kepuasan lain sebagai suatu upaya untuk mengalihkan energi ketika individu mengalami suatu masalah dalam kehidupannya.
g. Pengaturan afektif.
Suatu ketrampilan untuk mengontrol emosi dengan cara mengatasi perasaan dan secara berkelajutan mematikan dirinya sendiri terhadap stimulasi emosi sebagai upaya untuk mempertahankan harapan di masa mendatang dan individu dapat bereaksi dengan tenang terhadap krisis.
h. Pengungkapan emosi.
Suatu ketrampilan untuk memberikan kesempatan kepada individu untuk mengutarakan perasaannya secara terbuka.
i. Penerimaan.
Suatu kemampuan untuk menerima situasi seperti apa adanya dan menyadari bahwa tidak ada lagi sesuatu yang dapat dilakukan untuk mengubahnya sebagai suatu keputusan dengan penuh kesadaran menerima keadaan seperti apa adanya.
2. Reaksi yang berorientasi pada ego
Reaksi ini sering digunakan oleh individu dalam menghadapi stress atau kecemasan, jika individu melakukannya dalam waktu sesaat maka akan dapat mengurangi kecemasan, tetapi jika digunakan dalam waktu yang lama akan dapat mengakibatkan gangguan orientasi realita, memburuknya hubungan interpersonal dan menurunnya produktifitas kerja. Koping ini bekerja tidak sadar sehingga penyelesainnya sering sulit dan tidak relistis. Dibawah ini diuraikan tentang mekanisme pertahanan diri yang bersumber pada ego.

Table 2.1 Mekanisme pertahanan diri yang bersumber pada ego
(Deffence mechanisme)
Meknisme pertahanan diri Definisi dan contoh
Konpensasi Kelemahan yang ada pada dirinya ditutup dengan meningkatkan kemampuan dibidang lain untuk mengurangi kecemasan. Seorang mahasiswa yang prestasi belajarnya rendah, tetapi kemudian memperkeat dibidang lain, misalnya menojol dibidang olah raga dan organisasi.
Mengingkari Prilaku menolak realita yang terjadi pada dirinya, dengan berusah mengatakan tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Contohnya: menolak kanker atau penyakityang mengancam dirinya dengan mengatakan, didalam tubuhku tidak terjadi apa-apa.
Mengalihkan Mengalihkan emosi yang diarahkan pada benda atau objek yang kurang dan tidak berbahaya.
Disosiasi Kehilangan kemampuan mengingat peristiwa yang terjadi pada dirinya.
Identifikasi Individu menyamakan dirinya dengan bintang pujaannya dengan meniru pikiran, penampilan, prilaku atau kesukaannya.
Intelektulisasi Alas an atau logika yang berlebihan untuk menekan perasaan yang tidak menyenangkan. Contohnya: seorang eksekutif muda yang dipenjara bersama narapidana lainnya, ia mengatakan “saya tidak sama dengan mereka”.
Introyeksi Prilaku dimana individu menyatukan nilai orang lain atau kelompok kedalam dirinya.
Proyeksi Keinginan yang tidak dapat ditoleransi., mencurahkan emosi kepada orang lain karena kesalahan yang dilakukan sendiri. Siswa yang dipanggil karena kesalahannya sendiri, setelah ia kembali kekelas ia mengatakan “ini kesalahan semua kelas”.
Rasionalisasi Memberikan alasan yang dapat diterima secara sosial, yang tampaknya masuk akal untuk membenarkan kesalahannya sendiri. Seseorang yang terlambat masuk kantor disebabkan karena bangun siang, kepada pinpinan mengatakan “hari ini dijalanan seperti biasa; macet”.
Reaksi imformasi Pembentukan sikap kesadarandan pola prilaku yang berlawanan dengan apa yang benar-benar dirasakan atau dilakukan oleh orang lain.
Regresi Menghidari stress, kecemasan dengan menampilkan prilaku kembali seperti pada perkembangan anak. Kecemasan atau stress yang dialami dialihkan dengan berprilaku seperti anak-anak; bermain, tidur, meringkuk.
Represi Menekan perasaan atau pengalaman yang menyakitkan atau konflik dan ingatan dari kesadaran yang cenderung memperkuat mekanisme ego lainnya.
Splitting Kegagalan individu dalam mengitegrasikan dirinya dalam menilai baik buruk yang memandang seseorang semuanya baik atau semuanya buruk yang tidak konsisten.
Supresi Menekan perasaan atau pengalaman yang menyakitkan kealam tak sadar sampai ia melupakan peristiwa yang menyakitkan itu.
Undoing Bertindak atau berkomunikasi yang sebagian diingkarinya sebagaimana yang pernah dikomunikasikan sebelumnya.
Sublimasi Penerimaan tujuan pengganti yang diterima secara social karena dorongan yang merupakan saluran normal dari ekspresi yang terhambat.


2.4.9 Metode Koping
Ada dua metode koping yang digunakan oleh individu dalam mengatasi masalah psikologis seperti yang dikemukakan oleh Bell (1997), dua metode tersebut antara lain adalah :
1. Metode koping jangka panjang
Cara ini adalah konstrutif dan merupakan cara yang efektif dan realistis dalam menangani masalah psikologis untuk kurun waktu yang lama.
2. Metode koping jangka pendek
Cara ini digunakan untuk mengurangi stress atau ketegangan psikologis dan cukup efektif untuk waktu sementara, tetapi tidak efektif jika digunakan dalam jangka panjang.
Pada tingkat keluarga koping yang dilakukan dalam menghadapi masalah atau ketegangan seperti yang dikemukakan oleh Rasmun, (2004) :
1) Mencari dukungan sosial seperti minta bantuan keluarga, tetangga, teman, atau keluarga jauh.
2) Reframing yaitu mengkaji ulang kejadian masa lalu agar lebih dapat menanganinya dan menerima, menggunakan pengalaman masa lalu untuk mengurangi stress atau kecemasan.
3) Mencari dukungan spiritual, berdoa, menemui pemuka agama, atau aktif dalam pertemuan ibadah.
4) Menggerakkan keluarga untuk mencari dan menerima bantuan.
5) Penilaian secara pasif terhadap peristiwa yang dialami dengan cara menonton tv, atau diam saja.
2.4.10 Faktor yang Mempengaruhi Mekanisme Koping
Faktor yang mempengaruhi Kemampuan Mekanisme Koping individu menurut Moos (1998) yang dikutif oleh Niven (2002) :
1. Faktor Demografi dan Personal
Faktor demografi ini meliputi : usia, jenis kelamin, suku, situasi ekonomi, kematangan kognitif dan emosional, kepercayaan diri, komitmen keagamaan, krisis, serta pengalaman melakukan mekanisme koping sebelumnya. Perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang menentukan kemampuan mekanisme koping individu. Perempuan (khusunya tipe melankolis) lebih cenderung malakukan mekanisme koping yang mal adaftif. Sedadangkan menurut Mc Ghie (1996) yang dikutif oleh Niven (2002) pada jenis kelamin perempuan lebih mudah mengalami perasaan tertekan dan depresi bila dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki.
2. Faktor Kejadian yang Mengacu pada Tipe Stresor
Variasi dari stressor mengartikan penyebab dari tugas yang harus dilakukan individu, dimana individu mempunyai control sampai tingkat tertentu lebih memungkinkan untuk melakukan mekanisme koping untuk masalah tertentu.
3. Faktor Lingkungan
Meliputi lingkungan sosial, fisik serta dukungan sosial yang nantinya penting untuk menangani stressor. Faktor ini dapat berasal dari teman sepergaulan, anggota keluarga anggota masyarakat maupun anggota sosial yang lain. Menurut Niven (2001) lingkungan fisik atau sosial menentukan kemampuan seseorang melakukan mekanisme koping yang adaftif, dukungan sosial merupakan unsur penting dalam penanaman krisis dan perubahan. Sumber institusional di masyarakat seperti penggunaan fasilitas, adanya kelompok untuk membantu diri memberikan kesempatan bagi individu untuk berbagi pengalaman, nasihat, dan memperoleh keyakinan untuk menghadapi kehidupan sehari-hari. Sedangkan menurut Gunarsa (1995) yang dikutif oleh Niven (2002) pada lingkungan perkotaan dengan sarana dan prasarana memadai, seorang individu akan lebih mudah untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan ketika menghadapi suatu masalah meskipun pada keadaan tertentu kohesi ini memberikan dampak sebaliknya pada individu.
2.4.11 Pengukuran Kemampuan Mekanisme Koping Individu
Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan individu dalam melakukan mekanisme koping ketika menghadapi stress psikologi, hal ini dapat dilakukan dengan cara individu dengan mengisi setiap butir pernyataan yang terdapat pada tabel test kemampuan koping (Coping Skills Test) dikutip dari (Website: http:/www.queendom com/ 2005).
Table 2.2 Tes Mekanisme Koping Individu (Coping Skills Test)
NO Pertanyaan
(Steatment) Tidak Pernah (Almost Never) Jarang (Rarely) Kadang-kadang (Sometimes) Sering (quite often) Selalu (Most of the time)
1 Saya mudah berputus asa/berkecil hati. (I get easily discouraged)
2 Ketika terjadi perubahan situasi, saya dapat mengatur rencana untuk menghadapi perubahan tersebut. (When the situation changes, Iadjust my plans)
3 Ketika saya stress, pikiran saya tidak dapat digunakan untuk berpikir/kosong. (when I stressed, my mind goes blank)
4 Saya tahu, dimana saya menemukan informasi yang butuhkan. (I know where to find the information that I need)
5 Saya percaya dengan keputusan saya. (I trus my judgetment)
6 Saya menerima kesalahan saya sebagai kesempatan untuk belajar. (I accept my mistakes as a learning apportunity)
7 Ketika sesuatu yang saya inginkan tidak saya dapatkan/ capai, saya secepatnya mengulangi tindakan / langkah saya. (When something I wanted does’t work out, I get rapedly back on my feet)
8 Ketika situasi membtuhkan perubahan rencana/ strategi, saya merasa bingung dan cemas. (When a situation requires a change of plan or strategy, I feel confused or anxious)
9 Ketika saya mengalami suatu kegagalan, dampak negative dari kegagalan tersebut terjadi dalam waktu yang lama pada diri saya. (When I fail, I am oevastated for a long time)
10 Saya dapat menerapkan apa yang saya pelajari dari situasi yang baru. (I am able to applywhat I have learned to new situations)
Interprestasi skor (Scor interprestasi)
Sumber : http://www.queendom.com/ oktober 2005.


A. Tehnik skoring Setip Butir Pernyataan
3.5 Pernyataan (1), (3), (8), (9) : Untuk jawaban tidak pernah (Almost Never) diberi nilai 10, untuk jawaban jarang (Rarely) diberi nilai 8, untuk jawaban kadang-kadang (Sometimes) diberi nilai 6, untuk jawaban sering (Quite often) diberi nilai 4, sedangkan untuk jawaban selalu (Most of the time) diberi nilai 2.
3.6 Pernyataan (2), (4), (5), (6), (7), (10) : Untuk jawaban tidak pernah (Almost never) diberi nilai 2, untuk jawaban jarang (Rarely) diberi nilai 4, untuk jawaban kadang-kadang (Sometimes) diberi nilai 6, untuk jawaban sering (Quite often) diberi nilai 8, sedangkan untuk jawaban selalu (Most of the time) diberi nilai 10.


B. Interprestasi Skor
1. Interprestasi skor 0-50 :
Pencapaian kemampuan mekanisme koping individu dikatakan sangat dibawah dari perkembangan (very underdeveloped copng skills), individu dengan kemampuan tersebut ketika sedang menghadapi stress dalam situasi yang tidak berdaya mudah mengalami kecemasan dan depresi. Kemampuan pada taraf ini juga bisa disebabkan karena kurang bersungguh-sungguhnya individu dalam mengatasi masalahnya bukan tampa melakukan perjuangan apapun (Whitout a fight), merasa bingung dan terlalu pasrah dan juga melakukan pnyangkalan bahwa individu kurang melakukan pengaturan dalam kehidupannya (As less in control over your live). Individu yang mempunyai kemampuan mekanisme koping maladaftif lebih cenderung untuk menghindari masalah dan menjadi korban dari stressor yang berdampak terjadinya kesalahan, kelumpuhan mental, secara emosional tersia-siakan serta penurunan produktivitas.
2. Interprestasi skor 51-80
Pencapaian kemampuan koping individu dalam batasan rata-rata (Average coping skills). Hal ini berarti individu tidak terlalu dalam batasan tidak berdaya (Not completely defenselees) ketika individu melakukan penyesuaian terhadap stress yang sedang dihadapinya, tapi dalam hal ini individu juga mungkin bisa mengalami kecemasan, depresi, atau sangat bingung ketika suatu masalah sangat sulit dipecahkan.


3. Iterprestasi skor 80-100
Pencapaian kemampuan mekanisme koping individu pada skor ini dikatakan sangat unggul (exellent coptng skills). Hal ini berarti saat individu melakukan tindakan yang efisien ketika menghadapi suatu situasi yang penuh stressor dan menemukan jalan penyesuaian untuk masalah yang sedang dihadapi. Individu tidak menjadi korban dari lingkungan dan tidak bingung dalam melakukan penyesuaian.
2.5 Kerangka Konseptual













Keterangan : Tidak diteliti :
Diteliti :
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Mekanisme Koping Pasien HIV AIDS
Menurut Brunner dan Suddart (2001) dukungan sosial memfasilitasi prilaku koping seseorang.
Dukungan sosial dapat juga membantu meningkatkan koping individu dengan mengarahkan strategi-strategi alternatif yang didarsarkan pada pengalaman sebelumnya dan mengajak orang-orang berfokus pada aspek-aspek yang lebih positif dari situasi tersebut.

No comments:

Post a Comment