Search This Blog

Saturday, February 27, 2010

LIMFADENINTIS TUBERKULOSIS

LIMFADENINTIS TUBERKULOSIS
ANAK USIA 5 TAHUN
PENGERTIAN
Tuberkolosis yang terjadi pada kelenjar superfisial yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberkulosis, terjadi dalam 6 bulan pertama setelah terjadi infeksi sebagai akibat penyebaran limfogen dan atau hematogen, biasanya multipel.

PATOGENESIS
























95% 5%










A. 5%

TB kelenjar superfisial:
 Akibat penyebaran limfogen dan hematogen.
 Dapat sembuh sendiri, dapat progresif.
 Dapat merupakan bagian dari TV milier.
 Biasanya multipel.
 Lokasi: leher, axilla, inguinal, supra clavikuler, sub mandibula.
 Abses.

Pembesaran kelenjar terjadi karena adanya hiperplasia limfoid dan terbentuknya tuberkel, kemudian terjadi granulasi kronis, di kelenjar terjadi nekrosis dan perkejuan. Kelenjar dapat membesar dan melekat satu dengan yang lainnya serta melekat dengan jaringan sekitarnya, kemudian terjadi perkejuan selanjutnya terbentuk abses. Pada penyembuhan dapat terjadi perkapuran.

PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Identitas klien: selain nama klien, juga orangtua; asal kota dan daerah, jumlah keluarga.
2. Keluhan: penyebab klien sampai dibawa ke rumah sakit.
3. Riwayat penyakit sekarang:
Tanda dan gejala klinis TB serta terdapat benjolan/bisul pada tempat-tempat kelenjar seperti: leher, inguinal, axilla dan sub mandibula.
4. Riwayat penyakit dahulu:
 Pernah sakit batuk yang lama dan benjolan bisul pada leher serta tempat kelenjar yang lainnya dan sudah diberi pengobatan antibiotik tidak sembuh-sembuh?
 Pernah berobat tapi tidak sembuh?
 Pernah berobat tapi tidak teratur?
 Riwayat kontak dengan penderita TBC.
 Daya tahan yang menurun.
 Riwayat imunisasi/vaksinasi.
 Riwayat pengobatan.
5.  Riwayat sosial ekonomi dan lingkungan.
 Riwayat keluarga.
 Biasanya keluarga ada yang mempunyai penyakit yang sama.
 Aspek psikososial.
 Merasa dikucilkan.
 Tidak dapat berkomunikasi dengan bebas, menarik diri.
 Biasanya pada keluarga yang kurang mampu.
 Masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu yang lama dan biaya yang banyak.
 Tidak bersemangat dan putus harapan.
Lingkungan:
 Lingkungan kurang sehat (polusi, limbah), pemukiman yang padat, ventilasi rumah yang kurang, jumlah anggota keluarga yang banyak.
6. Pola fungsi kesehatan.
1) Pola persepsi sehat dan penatalaksanaan kesehatan.
Keadaan umum: alergi, kebiasaan, imunisasi.
2) Pola nutrisi - metabolik.
Anoreksia, mual, tidak enak diperut, BB turun, turgor kulit jelek, kulit kering dan kehilangan lemak sub kutan, sulit dan sakit menelan, turgor kulit jelek.
3) Pola eliminasi
Perubahan karakteristik feses dan urine, nyeri tekan pada kuadran kanan atas dan hepatomegali, nyeri tekan pada kuadran kiri atas dan splenomegali.
4) Pola aktifitas – latihan
Sesak nafas, fatique, tachicardia,aktifitas berat timbul sesak nafas (nafas pendek).
5) Pola tidur dan istirahat
Iritable, sulit tidur, berkeringat pada malam hari.
6) Pola kognitif – perseptual
Kadang terdapat nyeri tekan pada nodul limfa, nyeri tulang umum, takut, masalah finansial, umumnya dari keluarga tidak mampu.
7) Pola persepsi diri
Anak tidak percaya diri, pasif, kadang pemarah.
8) Pola peran – hubungan
Anak menjadi ketergantungan terhadap orang lain (ibu/ayah)/tidak mandiri.
9) Pola seksualitas/reproduktif
Anak biasanya dekat dengan ibu daripada ayah.
10) Pola koping – toleransi stres
Menarik diri, pasif.

PEMERIKSAAN FISIK
1. • Demam: sub fibril, fibril (40 – 41oC) hilang timbul.
• Batuk: terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini membuang/ mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk kering sampai batuk purulen (menghasilkan sputum).
• Sesak nafas: terjadi bila sudah lanjut, dimana infiltrasi radang sampai setengah paru.
• Nyeri dada: ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura.
• Malaise: ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot dan kering diwaktu malam hari.
• Pada tahap dini sulit diketahui.
• Ronchi basah, kasar dan nyaring.
• Hipersonor/timpani bila terdapat kavitas yang cukup dan pada auskultasi memberi suara limforik.
• Atropi dan retraksi interkostal pada keadaan lanjut dan fibrosis.
• Bila mengenai pleura terjadi efusi pleura (perkusi memberikan suara pekak)
2. Pembesaran kelenjar biasanya multipel.
3. Benjolan/pembesaran kelenjar pada leher (servikal), axilla, inguinal dan sub mandibula.
4. Kadang terjadi abses.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK DAN PENGOBATAN
1. Uji tuberkulin
Infeksi TB  imunitas seluler  hipersensitifitas tipe lambat  uji tuberkulin +.
2. Foto rontgent
Rutin: foto pada Rö paru.
Atas indikasi: tulang, sendi, abdomen.
Rontgent paru tidak selalu khas.
3. Gambaran klinis:
• Tanpa gejala.
• Gejala umum/tidak spesifik.
- Demam lama.
- BB turun/tidak naik.
- Malnutrisi.
- Malaise.
- Batuk lama.
- Diare berlanjut/berulang.
• Gejala spesifik, sesuai organ yang terkena.
Kelenjar: kelenjar membesar skrofulodivina.
Respiratorik: batuk, sesak, mengi.
Neurologik: kejang, kaku kuduk.
Ortopedik: pincang, gibbus.
GI: diare berlanjut.
4. Pemeriksaan mikrobiologis
- Bakteriologis
Memastikan TB.
Hasil normal: tidak menyingkirkan diagnosa TB.
Hasil +: 10 – 62% dengan cara lama.
Cara : cara lama radio metrik (Bactec); PCK.
5. Pemeriksaan darah tepi
Tidak khas.
LED dapat meninggi.
6. Pemeriksaan patologik anatomik
Kelenjar, hepar, pleura; atas indikasi.
7. Sumber infeksi
Adanya kontak dengan penderita TB menambah kriteria diagnosa.
8. Lain-lain
- Uji faal paru.
- Bronkoskopi.
- Bronkografi.
- Serologi.
- dll.


PENATALAKSANAAN DAN PENGOBATAN
Penatalaksanaan
 Penyuluhan
 Pencegahan
 Pemberian obat-obatan
1. OAT ( oabat anti tuberkulosa )
2. Bronchodilator
3. Expectoran
4. OBH
5. Vitamin
6. Antibiotik
 Operasi untuk mengeluarkan kelenjar yang membesar.

TAHAP TUMBUH KEMBANG ANAK
 Menurut Soetjiningsih:
Masa pra sekolah usia 1-6 tahun.
 Menurut Donna L. Wong:
Masa anak-anak awal 1-6 tahun.
Pra sekolah: 3-6 tahun.

Tahap pertumbuhan cepat:
Pertumbuhan cepat pada masa pra-adolesen. Terdapat pertumbuhan fisik/jasmani yang sangat pesat, dimana tubuh anak menjadi cepat besar, BB naik dengan pesat serta panjang badan (PB) juga bertambah dengan cepat, anak makan dengan banyak serta aktifitas bertambah. Pertumbuhan tampaknya mengikuti satu irama tertentu dan berlangsung secara bergantian.

Tahap pertumbuhan otak
• Umur 5 tahun: sangat lambat (Morley, D: 1986).
Tahap perkembangan psikoseksual menurut Sigmund Freud:
Suatu proses pertambahan pematangan fungsi struktur tubuh serta kejiwaan yang menimbulkan dorongan untuk mencari stimulasi dan kesenangan secara umum termasuk didalamnya dorongan untuk menjadi dewasa.
• Fase oedipal/falik (3-5 tahun)
- Mulai melakukan rangsangan autoerotik.
- Bermain dengan anak berjenis kelamin berbeda.
- Aanak pasca oedipal berkelompok dengan sejenis.
Oedipus komplek: anak lelaki dekat ibunya karena perasaan cinta/tertarik.
Elektra komplek : anak perempuan dekat ayahnya karena perasaan cinta/ tertarik.
• Fase laten (5 – 12 tahun)
- Masuk ke permulaan fase pubertas.
- Periode terintegrasi.
- Fase tenang.
- Dorong libido mereda sementara.
- Erotik zona berkurang.
- Anak tertarik dengan per group (kelompok sebaya).

Tahap perkembangan manusia ditinjau dari aspek psikososial menurut Erik Erickson:
Dibagi 8 tahap perkembangan mulai dari lahir sampai usia tua:
- Tahap ke-3; krisis perkembangan : initiative vs guilt (inisiatif vs perasaan bersalah; nama tahap: pre school/usia pra sekolah.
- 4 – 6 tahun:
Kepercayaan yang diperoleh anak tidak diartikan bahwa ia diperbolehkan memiliki inisiatif dalam belajar mencari pengalaman-pengalaman baru secara aktif seperti bagaimana dan mengapa tentang sesuatu sehingga anak dapat memperluas aktifitasnya, jika anak dilarang dan diomeli/dicela untuk usaha itu yang mencari pengalaman baru, anak akan merasa bersalah dan menjadi anak peragu untuk melakukan sesuatu percobaan yang menantang, keterampilan motorik dan bahasanya.


DIAGNOSA PERAWATAN
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya faktor resiko :
 Berkurangnya keefektifan permukaan paru, atelektasis
 Kerusakan membran alveolar kapiler
 Sekret yang kental
 Edema bronchial
2. Resiko infeksi dan penyebaran infeksi berhubungan dengan :
 Daya tahan tubuh menurun, fungsi silia menurun, sekret yang menetap
 Kerusakan jaringan akibat infeksi yang menyebar
 Malnutrisi
 Terkontaminasi oleh lingkungan
 Kurang pengetahuan tentang infeksi kuman
3. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang kondisi, pengobatan, pencegahan, berhubungan dengan :
 Tidak ada yang menerangkan
 Interpretasi yang salah, tidak akurat
 Informasi yang didapat tidak lengkap
 Terbatasnya pengetahuan / kognitif
4. Perubahan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan :
 Kelelahan
 Batuk yang sering, adanya produksi sputum
 Dyspnoe
 Anoreksia
 Penurunan kemampuan finansial (keluarga).

INTERVENSI KEPERAWATAN DAN RASIONAL

Dx. I.
Independen
Kaji dyspnoe, takipnoe, bunyi pernafasan abnormal. Meningkatnya respirasi, keterbatasan ekspansi dada dan fatique.
TB paru dapat menyebabkan meluasnya jangkauan dalam paru-paru yang berasal dari bronchopneumonia yang meluas menjadi inflamasi, nekrosis, pleural efusion dan meluasnya fibrosis dengan gejala-gejala respirasi distress.
Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan perubahan kulit, selaput mukosa dan warna kuku.
Akumulasi sekret dapat mengganggu oksigenasi di organ vital dan jaringan
Demontrasikan/anjurkan untuk mengeluarkan nafas dengan bibir disiutkan, terutama pada klien dengan fibrosis atau kerusakan parenkhim.
Meningkatnya resistensi aliran udara untuk mencegah kolapsnya jalan nafas dan mengurangi residu dari paru-paru
Anjurkan untuk bedrest/mengurangi aktivitas
Mengurangi konsumsi oksigen pada periode respirasi

Kolaborasi
Monitor BGA
Menurunnya oksigen ( PaO2 ), saturasi atau meningkatnya PaCo2 menunjukkan perlunya penanganan yang lebih adekuat atau perubahan therapi.
Memberikan oksigen tambahan
Membantu mengoreksi hipoksemia yang secara sekunder mengurangi ventilasi dan menurunnya tegangan paru.

Dx. II.
Independen
Review patologi penyakit fase aktif/tidak aktif, menyebarnya infeksi melalui bronkhus pada jaringan sekitarnya atau melalui aliran darah atau sistem limfe dan potensial infeksi melalui batuk, bersin, tertawa, ciuman atau menyanyi.
Membantu klien agar klien mau mengerti dan menerima terhadap terapi yang diberikan untuk mencegah komplikasi.
Mengidentifikasi orang-orang yang beresiko untuk terjadinya infeksi seperti anggota keluarga, teman, orang dalam satu perkumpulan.
Memberitahukan kepada mereka untuk mempersiapkan diri untuk mendapatkan terapi pencegahan.
Anjurkan klien menampung dahaknya jika batuk
Kebiasaan ini untuk mencegah terjadinya penularan infeksi.
Gunakan masker setap melakukan tindakan
Untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi
Monitor temperatur
Febris merupakan indikasi terjadinya infeksi.
Ditekankan untuk tidak menghentikan terapi yang dijalani
Periode menular dapat terjadi hanya 2 – 3 hari setelah permulaan kemoterapi tetapi dalam keadaan sudah terjadi kavitas atau penyakit sudah berlanjut sampai tiga bulan.

Kolaborasi
Pemberian terapi untuk anak
INH, Etambutol, Rifampisin
INH adalah obat pilihan bagi penyakit TB primer dikombinasikan dengan obat-obat lainnya. Pengobatan jangka pendek INH dan Rifampisin selama 9 bulan dan etambutol untuk 2 bulan pertama.
Pyrazinamid ( PZA ) / aldinamide, Paraamino Salicyl ( PAS ), Sycloserine, Streptomysin
Obat-obat sekunder diberikan jika obat-obat primer sudah resisten.
Monitor sputum BTA
Klien dengan 3 kali pemeriksaan BTA negatif, terapi diteruskan sampai batas waktu yang ditentukan.

Dx. III.
Independen
Kaji kemampuan belajar klien misalnya : tingkat kecemasan, perhatian, kelelahan, tingkat partisipasi, lingkungan yang memungkinkan klien untuk belajar, seberapa banyak yang telah diketahui, media yang tepat dan siapa yang dipercaya.
Kemampuan belajar berkaitan dengan keadaan emosi dan kesiapan fisik. Keberhasilan tergantung pada sebatasmana kemampuan klien.
Mengidentifikasi tanda-tanda yang dapat dilaporkan pada dokter misalnya : hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan nafas, kehilangan pendengaran, vertigo.
Mengindikasikan perkembangan penyakit atau efek samping dari pengobatan yang membutuhkan evaluasi secepatnya.
Menekankan pentingnya asupan diet TKTP dan intake cairan yang adekuat.
Mencukupi kebutuhan metabolik, mengurangi kelelahan, intake cairan yang memadai membantu mengencerkan dahak.
Berikan informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan untuk klien dan keluarga misalnya : jadwal minum obat.
Informasi tertulis dapat mengingatkan klien tentang informasi yang telah diberikan. Pengulangan informasi dapat membantu mengingatkan klien.
Menjelaskan dosis obat, frekwensi, tindakan yang diharapkan dan perlunya therapi dalam jangka waktu lama. Mengulangi penyuluhan mengenai potensial interaksi antara obat yang diminum dengan obat / subtansi lain.
Meningkatkan partisipasi klien dan keluarga untuk mematuhi aturan therapi dan mencegah terjadinya putus obat.
Jelaskan tentang efek samping dari pengobatan yang mungkin timbul, misalnya : mulut kering, konstipasi, gangguan penglihatan, sakit kepala, peningkatan tekanan darah.
Dapat mencegah keraguan terhadap pengobatan dan meningkatkan kemampuan klien untuk menjalani terapi.
Merujuk pemeriksaan mata saat memulai dan menjalani therpi etambutol.
Efek samping utama etambutol adalah menurunkan ketajaman penglihatan dan juga mengurangi kemampuan untuk mempersepsikan warna hijau.
Memberikan dorongan pada klien dan keluarga untuk mengungkapkan kecemasan/keprihatinannya serta memberikan jawaban yang jujur atas pertayaannya. Jangan berusaha menyangkal pernyataanya.
Memberikan kesempatan untuk mengubah pandangannya yang salah dan meredakan kecemasannya. Penyangkalan terhadap perasaannya akan memperburuk mekanisme koping yang merugikan kesehatannya.
Review tentang cara penularan TB ( misalnya : umumnya melalui inhalasi udara yang mengandung kuman, tapi mungkin juga menular melalui urine jika infeksinya mengenai sistem urinaria ) dan resiko kambuh kembali.
Pengetahuan yang cukup dapat mengurangi resiko penularan / kambuh kembali. Komplikasi yang berhubungan dengan tidak adekuatnya penyembuhan TB meliputi : formasi abses, empisema, pneumothorak, fibrosis, efusi pleura, empyema, bronkhiektasis, hemoptisis, ulcerasi GI, fistula bronkopleural, TB laring, dan penularan kuman.



Dx. IV.
Independen
Kaji dan komunikasikan status nutrisi klien dan keluarga seperti yang dianjurkan :
1. Catat turgor kulit
2. Timbang berat badan
3. Integritas mukosa mulut, kemampuan dan ketidakmampuan menelan, adanya bising usus, riwayat nausea, vomiting atau diare.
Digunakan untuk mendefinisikan tingkat masalah dan intervensi
Mengkaji pola diet klien yang disukai/tidak disukai
Membantu intervensi kebutuhan yang spesifik, meningkatkan intake diet klien.
Meonitor intake dan output secara periodik.
Mengukur keefektifan nutrisi dan cairan.
Catat adanya anoreksia, nausea, vomiting, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan medikasi. Monitor volume, frekwensi, konsistensi BAB.
Dapat menentukan jenis diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah untuk meningkatkan intake nutrisi.
Anjurkan bedrest
Membantu menghemat energi khususnya terjadinya metabolik saat demam.
Lakukan perawatan oral sebelum dan sesudah terapi respirasi
Mengurangi rasa yang tidak enak dari sputum atau obat-obat yang digunakan untuk pengobatan yang dapat merangsang vomiting.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. EGC. Jakarta.

Doengoes, ME. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC. Jakarta.

IDAI dan PP IDAI UKK Pulmonologi. 2000. Tatalaksana Mutakhir Penyakit Respiratorik Pada Anak; Dalam Temu Ahli Respirologi Anak-Anak. Jakarta.

Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak; Volume 2 Edisi 15. EGC. Jakarta.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta.

Soeparman. 1999. Ilmu Penyakit Dalam; Jilid I. FKUI. Jakarta.

Staf Pengajar Ilmu Keperawatan Anak FKUI. 1985. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. FKUI. Jakarta.

…….. 2000. Diktat Kuliah Medikal Bedah PSIK FK Unair Surabaya.

laporan pendahuluan ANEMIA

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ANEMIA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Berdasarkan survei kewsehatan rumah tangga (SKSRT) 2001, prevalensi anemia pada balita 0-5 tahun sekitar 47%, anak usia sekolah dan remaja sekitar 26,5%. Sementara survei di DKI Jakarta 2004 menunjukkan angka prevalensi anemia pada balita sebesar 26,5%, 35 juta remaja menderita anemia gizi besi, usia 6 bulan cadangan besi itu akan menipis, sehingga diperlukan asupan besi tambahan untuk mencegah kekurangan besi.
Anemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritrosit atau kadar Hb sampai di bawah rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat (Nelson,1999).
Kebanyakan anemia pada anak adalah anemia kekurangan zat besi atau iron deficiency anemia. Penyebabnya umumnya adalah pola makan yang kurang tepat. Anemia lainnya adalah anemia karena pendarahan, anemia karena pabriknya mengalami gangguan (sumsum tulang tidak memproduksi sel-sel darah dengan baik dan penyebabnya bermacam-macam), bisa juga anemia karena yang bersangkutan menderita suatu penyakit keganasan seperti kangker, leukemia dll, tapi biasanya dokter akan tahu karena hati dan limpanya membesar
Anemia bisa menyebabkan kerusakan sel otak secdara permanen lebih berbahaya dari kerusakan sel-sel kulit. Sekali sel-sel otak mengalami kerusakan tidak mungkin dikembalikan seperti semula. Karena itu, pada masa amas dan kritis perlu mendapat perhatian.

B. Tujuan
a. Tujuan umum dari penulisan makalah ini diharapkan mahasiswa dapat membuat asuhan keperawatan penyakit anemia.
b. Tujuan dari penulisan makalah diharapkan mahasiswa mampu:
1. Mengetahui anatomi fisiologi darah
2. Mengetahui pengertian anemia
3. Mengetahui etiologi anemia
4. Mengetahui patofisologi anemia
5. Mengetahui manifestasi klinis anemia
6. Mengetahui macam-macam anemia
7. Memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada klien yang menderita anemia


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI FISIOLOGI
Sistem hematology tersusun atas darah dan tempat darah diproduksi, termasuk sumsum tulang dan nodus limfa. Darah adalah organ khusus yang berbeda dengan organ lain karena berbentuk cairan.
Darah adalah suspensi dari partikel dalam larutan koloid cair yang mengandung elektrolit. Peranannya sebagai medium pertukaran antara sel-sel yang terfiksasi dalam tubuh dan lingkungan luar serta memiliki sifat-sifat protektif terhadap organisme sebagai suatu keseluruhan dan khususnya terhadap darahnya sendiri.
Unsur seluler darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), beberapa jenis sel darah putih (leukosit), dan pecahan sel yang disebut trombosit.
1. Sumsum tulang
Sumsum tulang menempati bagian dalam tulang spons dan bagian tengah rongga tulang panjang. Sumsum merupakan 4 % sampai 5 % berat badan total,sehingga merupakan yang paling besar dalam tubuh. Sumsum bisa berwarna merah atau kuning. Sumsum merah merupakan tempat diproduksi sel darah merah aktif dan merupakan organ hematopoetik (penghasil darah) utama. Sedang sumsum kuning, tersusun terutama oleh lemak dan tidak aktif dalam produksi elemen darah.
2. Eritrosit
Sel darah merah atau eritrosit dalah merupakan cakram bikonkaf yang tidak berinti yang kira-kira berdiameter 8 m, tebal bagian tepi 2m pada bagian tengah tebalnya hanya 1m atau kurang. Karena sel itu lunak dan lentur maka dalam perjalanannya melalui mikrosirkulasi konfigurasinya berubah. Stroma bagian luar yang mengandung protein terdiri dari antigen kelompok A dan B serta faktor Rh yang menentukan golongan darah seseorang. Komponen utama sel darah merah adalah protein hemoglobin (Hb) yang mengangkut O2 dan CO2 dan mempertahankan pH normal melalui serangkaian dapar intraseluler. Molekul-molekul Hb terdiri dari 2 pasang rantai polipeptida (globin) dan 4 gugus hem, masing-masing mengandung sebuah atom besi. Konfigurasi ini memungkinkan pertukaran gas yang sangat sempurna.
Pembentukan hemoglobin terjadi pada sumsum tulang melalui semua stadium pematangan. Sel darah merah memasuki sirkulasi sebagai retikulosit dari sumsum tulang. Retikulosit adalah stadium terakhir dari perkembangan sel darah merah yang belum matang dan mengandung jala yang terdiri dari serat-serat retikular. Sejumlah kecil hemoglobin masih dihasilkan selama 24 sampai 48 jam pematangan, retikulum kemudian larut dan menjadi sel darah merah yang matang.
3. Leukosit (sel darah putih)
Leukosit merupakan unit yang mobil/aktif dari sistem pertahanan tubuh. Leukosit ini sebagian di bentuk di sumsum tulang (granulosit dan monosit serta sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan sel-sel plasma). Setelah dibentuk, sel-sel ini diangkut dalam darah menuju bagian tubuh untuk di gunakan. Manfaat sesungguhnya dari sel darah putih ialah bahwa kebanyakan di transpor secara khusus ke daerah yang terinfeksi dan mengalami peradangan serius, jadi menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap bahan infeksius yang mungkin ada.
Ada 6 macam sel darah putih yang secara normal di temukan dalam darah. Keenam sel tersebut ialah netrofil polimorfonuklir, eosinofil polimorfonuklir, basofil polimorfonuklir, monosit, limfosit, dan kadang-kadang sel plasma. Selain itu terdapat juga sejumlah besar trombosit, yang merupakan pecahan dari tipe ketujuh sel darah putih yang dijumpai dalam sumsum tulang, yakni megakariosit. Ketiga tipe dari sel, yaitu sel polimorfonuklir, seluruhnya mempunyai gambaran granular, karena alasan itu mereka disrbut granulosit atau dalam terminologi klinis disebut “poli” karena intinya multipel.
Granulosit dan monosit melindungi tubuh terhadap organisme penyerang terutama dengan cara mencernakannya yaitu melalui fagositosis. Fungsi utama limfosit dan sel-sel plasma berhubungan dengan sistem imun.
4. Trombosit
Trombosit merupakan partikel kecil, berdiameter 2 sampai 4 µm, yang terdapat pada sirkulasi plasma darah. Karena dapat mengalami disintegrasi cepat dan mudah, jumlahnya selalu berubah antara 150.000 dan 450.000 per mm³ darah, tergantung jumlah yang dihasilkan, bagaimana digunakan, dan kecepatan kerusakan. Dibentuk oleh fragmentasi sel raksasa sumsum tulang, yang disebut megakariosit. Produksi trombosit diatur oleh trombopotein.
Trombosit berperan penting dalam mengotrol pendarahan. Apabila terjadi pendarahan cedera vascular, trombosit mengumpul pada pada tempat edera tersebut. Subtansi yang dilepaskan dari granula trombosit dan sel darah lainnya menyebabkan trombosit menempel satu sama lain dan membentuk tambalan atau sumbatan, yang sementara menghentikan pendarahan. Subtansi lain dilepaskan dari trombosit untuk mengaktifasi factor pembekuan dalam plasma darah.
5. Plasma darah
Apabila elemen seluler diambil dari darah, bagian cairan yang tersisa dinamakan plasma darah. Plasma darah mengandung ion, protein, dan zat lain. Apabila plasma dibiarkan membeku, sisa cairan yang tertinggal dinamakan serum. Serum mempunyai kandungan yang sama dengan plasma, keuali kandungan fibrinogen dan beberapa factor pembekuan.
Protein plasma tersusun terutama oleh albumin dan globulin. Globulin tersusun atas fraksi alfa, beta dan gama yang dapat dilhat dari laboratorium yang dinamakan elektroforesis protein. Masing-masing kelompok disusun oleh protein tertentu.
Gama globulin, yang tersusun terutama oleh anti bodi, dinamakan immunoglobulin. Protein ini dihasilkan oleh limfosit dan sel plasma. Protein plasma penting dalam fraksi alfa dan beta adalah globulin transpor dan nfaktor pembekuan yang dibentuk di hati. Globulin transpor membawa berbagai zat dalam bentuk terikat sepanjang sirkulasi. Misalnya tiroid terikat globulin, membawa tiroksin, dan transferin membawa besi. Faktor pembekuan, termasuk fibrinogen, tetap dalam keadaan tidak aktif dalam plasma darah sampai diaktifasi pada reaksi pada tahap-tahap pembekuan.
Albumin terutama penting untuk pemeliharaan volume cairan dalam system vaskuler. Dinding kapiler tidak permeabel terhadap albumin, sehingga keberadaannya dalam plasma menciptakan gaya onkotik yang menjaga cairan dalam rongga vaskuler. Albumin, yang dihasilkan oleh hati, memiliki kapasitas mengikat berbagai zat yang ada dalam plasma. Dalam hal ini, albumin berfungsi sebagai protein transpor untuk logam, asam lemak, bilirubin, dan obat-obatan, diantara zat lainnya.

B. DEFINISI
Anemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritrosit atau kadar Hb sampai di bawah rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat (Nelson,1999).
Anemia berarti kekurangan sel darah merah, yang dapat di sebabkan oleh hilangnya darah yang terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya produksi sel darah merah. (Guyton,1997).
Anemia adalah keadaan dimana jumlah sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin turun dibawah normal.(Wong,2003).
Anemia adalah penurunan dibawah normal dadam jumlah eritrosit, banyaknya hemoglobin, atau volume sel darah merah, sistem berbagai jenis penyakit dan kelainan (Dorlan, 1998)

C. PATOFISIOLOGI
1. Jumlah efektif eritrosit berkurang menyebabkan jumlah O2 ke jaringan berkurang
2. Kehilangan darah yang mendadak (> 30%) mengakibatkan pendarahan menimbulkan simtomatologi sekunder hipovolemi dan hipoksia
3. Tanda dan gejala: gelisah, diaforesis (keringat dingin), takikardi,dyspne, syok
4. Kehilangan darah dalam beberapa waktu (bulan) sampai dengan 50% terdapat kompensasi adalah:
a. Peningkatan curah jantung dan pernafasan
b. Meningkatkan pelepasan O2 oleh hemoglobin
c. Mengembangkan volume plasma dengan menarik cairan dari sela-sela jaringan
d. Redistribusi aliran darah ke organ vital
Salah satu tanda yang sering di kaitkan dengan anemia adalah pucat, ini umumnya sering di kaitkan dengan volume darah, berkurangnya hemoglobin dan vasokontriksi untuk memperbesar pengiriman O2 ke organ-organ vital. Karena faktor-faktor seperti pigmentasi kulit, suhu dan kedalaman serta distribusi kapiler mempengaruhi warna kulit maka warna kulit bukan merupakan indeks pucat yang dapat diandalkan. Warna kuku, telapak tangan dan membran mukosa mulut serta konjungtiva dapat digunakan lebih baik guna menilai kepucatan.
D. MANIFESTASI KLINIK
1. Pucat oleh karena kekurangan volume darah dan Hb, vasokontriksi
2. Takikardi dan bising jantung (peningkatan kecepatan aliran darah) Angina (sakit dada)
3. Dispnea, nafas pendek, cepat capek saat aktifitas (pengiriman O2 berkurang)
4. Sakit kepala, kelemahan, tinitus (telinga berdengung) menggambarkan berkurangnya oksigenasi pada SSP
5. Anemia berat gangguan GI dan CHF (anoreksia, nausea, konstipasi atau diare)

E. KLASIFIKASI ANEMIA
1. Anemia pasca-pendarahan (post hemorrhagi)
a. Etiologi
Kehilangan darah karena kecelakaan, operasi, pendarahan usus, ulkus peptikum, pendarahan karena kelainan obstetric, hemoroid, ankilostomiasis. Jadi umumnya karena kehilangan darah yang mendadak atau menahun
1). Kehilangan darah mendadak
a). Pengaruh yang timbul segera
Akibat kehilangan darah yang cepat, terjadi reflek kardiovaskular yang fisiolgis berupa kontraksi arteriola, pengurangan aliran darah atau komponennya ke organ tubuh yang kurang vital (anggota gerak, ginjal dan sebagainya) dan penambahan alran darah ke organ vital (otak dan jantung)
Gejala yang timbul tergantung dari cepat dan banyaknya darah yang hilang dan apakah tubuh masih dapat mengadakan kompensasi.
Kehilangan darah sebanyak 12-15 % akan memperlihatkan gejala pucat, transpirasi, takikardi, tekanan darah normal atau merendah. Kehilangan sebanyak 15-20 % akan mengakibatkan tekanan darah menurun dan dapat terjadi renjatan (shock) yang masih reversibel. Kehilangan lebih dari 20% akan menimbulkan renjatan yang ireversibel dengan angka kematian yang tinggi.
Pengobatan yang terbaik ialah dengan transfusi darah. Pilihan kedua adalah plasma (plasma expanders atau plasma substitute). Dalam pemberian darurat cairan intravena dengan cairan infus apa saja yang tersedia
b). Pengaruh lambat
Beberapa jam setelah pendarahan, terjadi pergeseran cairan ekstravaskular ke intravaskular yaitu agar isi intravaskular dan tekanan osmotik dapat dipertahankan, tetapi akibatnya terjadi hemodilusi.
Gejala yang ditemukan ialah leukositosis (15.000-20.000/mm3). Nilai hemoglobin, erirosit dan hematokrit merendah akibat hemodilusi. Untuk mempertahankan metabolisme, sebagai kompensasi sistem eritropoetik menjadi hiperaktif. Kadang-kadang terlihat gejal gagal jantung
2). Kehilangan darah menahun
Pengaruhnya terlihat sebagai gejala akibat defisiensi besi, bila tidak diimbangi dengan masukan besi yang cukup.
2. Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi zat besi sering ditemukan di Indonesia. Anemia defisiensi zat besi merupakan suatu penyakit yang dapat mengakibatkan efeka yang sangat serius pada fungsi jantung dan paru jika tidak segera ditangani. Selain itu juga dapat menyebabkan kematian. Anemia defisiensi besi sering terjadi pada pria atau wanita pasca menopause. Menurut Sneltzer (2002) bahwa penyebab tersering pada anemia yang dialami oleh pria ataupun wanita pasca menopause disebabkan karena kurangnya masukan nutrisi. Selain pada pasca menopause juga dapat terjadi pada bayi. Anemia akibat defesiensi besi untuk sisntesis Hb merupakan penyakit darah yang paling sering pada bayi dan anak. Frekuensinya berkaitan dengan aspek dasar metabolisme besi dan nutrisi tertentu. Tubuh bayi baru lahir mengandung kira-kira 0,5 g besi, sedangkan dewasa kira-kira 5 g. untuk mengejar perbedaan itu rata-rata 0,8 mg besi harus direabsorbsi tiap hari selama 15 tahun pertam kehidupan. Disamping kebutuhan pertumbuhan ini, sejumlah kecil diperlukan untuk menyeimbangkan kehilangan besi normal oleh pengelupasan sel, karena itu untuk mempertahankan keseimbangan besi positif pada anak, kira-kira 1 mg besi harus direabsorbsi setiap hari.
a. Etiologi
Menurut patogenesisnya, etiologi anemia defisiensi besi dibagi:
Masukan kurang: MEP, defisiensi diet relatif yang disertai pertumbuhan yang cepat
Absorsi kurang: MEP: diare kronis, sindrom malabsorbsi lainnya
Sintesis kurang: transferin (hipotransferinemia congenital)
Kebutuhan yang bertambah: infeksi, pertumbuhan yang cepat
 Pengeluaran yang bertambah: kehilangan darah karena ankilostomiasis, amubiasis yang menahun, polip, hemolisis intravascular kronis yang menyebabkan hemosiderinemia
b. Manifestasi klinik
Penderita tampak lemas, sering berdebar-debar, lekas lelah, pucat, sakit kepala, iritabel dan sebagainya. Mereka tidak tampak sakit karena perjalanan penyakitnya bersifat menahun. Tampak pucat terutama pada mukosa bibir dan faring, telapak tangan dan dasar kuku, konjungtiva ocular berwarna kebiruan atau putih mutiara (pearly white). Papil lidah tampak atrofi. Jantung tampak membesar dan terdengar murmur sistolik yang fungsionil. Pada MEP dengan infestasi ankylostoma akan memperlihatkan perut buncit yang disebut pot belly dan dapat terjadi edema. Tidak ada pembesaran limpa dan hepar dan tidak terdapat diatesis hemoragik. Pemeriksaan radiologis tulang tengkorak akan menunjukkan pelebaran diploe dan penipisan tabula eksterna sehingga mirip dengan perubahan tulang tengkorak dari talasemia
c. Pemeriksaan laboratorium
Kadar Hb< 10 g%; MCV < 79 cµ; MCHC < 32%, mikrositik, hipokromik, poikilositosis, sel target. Kurve Price Jones bergeser kekiri. Leukosit dan trombosit normal. Pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan system eritropoetik hiperaktif dengan sel normoblas polikromatofil yang predominan. Dengan demikian terjadi maturation arrest pada tingkat normoblas polikromatofil. Dengan pewarnaan khusus dapat dibuktikan tidak terdapat besi dalam sumsum ntulang
Serum iron (SI) merendah dan iron binding capacity (IBC) meningkat (kecuali pada MEP, SI dan IBC rendah)
d. Diagnosis
Ditegakkan atas dasar ditemukannya penyebab defisiensi besi, gambaran eritrosit mikrositik hipokromik, SI rendah dan IBC meningkat, tidak terdapat besi dalam sumsum tulang dan reaksi yang baik terhadap pengobatan denan besi

e. Pengobatan
Pemberian preparat 60 mg/hari dapat menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr% per bulan. Kini program nasional menganjurkan kombinasi 60 mg besi dan 500 µg asam folat. (Saiffudin 2002). Selain itu dapat pula diberikan preparat besi parenteral. Obat ini lebih mahal harganya dan penyuntikannya harus intra muscular dalam atau ada pula yang dapat diberikan secara intravena. Preparat besi parenteral hanya diberikan bila pemberian peporal tidak berhasil
Tranfusi darah hanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 5 g% dan disertai dengan keadaan umum yang tidak baik, misalnya gagal jantung, bronkopneumonia dan sebagainya. Umumnya jarang diberikan transfusi darah karena perjalanan penyakitnya menahun

3. Anemia Megaloblastik
Anemia megaloblastik secara umum mempunyai abnormalitas morfologi dan pematangan eritrosit tertentu. Morfologi megaloblastik dapat dijumpai pada sejumlah keadaan.
a. Defisiensi asam folat
Folat berlimpah dalam berbagai makanan termasuk sayuran hijau, buah dan orgn binatang (ginjal, hati).
Defisiensi dalam makanan biasanya disertai pertumbuhan cepat atau infeksi yang dapat menaikan kebutuhan asam folat.
Kebutuhan atas dasar berat badan pada anak lebih besar dibandingkan pada orang dewasa. Karena kebutuhan yang meningkat untuk pertumbuhan. Kebutuhan juga meningkat sejalan dengan pergantian (turnover) jaringan. Susu manusia dan binatang memberi pasokan asam folat dalam jumlah yang memadai. Susu domba jelas defisien, suplementasi asam folat harus diberikan bila susu domba merupakan makanan pokok. Jika tidak diberi suplemen, susu bubuk juga mungkin sumber yang miskin asam folat.
Terapi
Bila diagnosis telah ditegakkan dengan sakit berat, anemia diberikan secara oral atau parenteral dengan dosis 1-5 mg/24 jam. Jika diagnosis spesifik belum diragukan 50-100 µg/24 jam folat dapat diberikan selam 1 minggu sebagai uji diagnostic, atau 1 µg/ 24 jam sianokobalamin parenteral untuk kecurigaan defisiensi vitamin B12. karena respon hematology dapat diharapkan dalam waktu 72 jam, transfusi hanya terindikasi jika anemia berat atau anak sakit berat. Terapi asam folat harus diteruskan sampai 3-4 minggu.
b. Defisiensi B12 (kobalamin)
Vitamin B12 dihasilkan dari kobalamin dalam makanan, terutama sumber hewani, produksi skunder oleh mikiroorganisne.
Defisiensi vitamin B12 dapat disebabkan karena kurang masukan, pembedahan lambung, konsumsi atau inhibisi kompleks B12- factor intrinsic, abnormalitas yang melibatkan sisi reseptor di ileum terminal, atau abnormalitas TCII. Meskipun TCI mengikat 80% kobalamin serum, defisiensi protein ini menyebabkan kadar penurunan B12 tetapi tidak pada anemia megaloblastik.
Kasus defisiensi terdapat pada bayi minum ASI yang ibunya mempunyai diet kurang atau yang menderita anemia pernisiosa.
Terapi
Respon hematologist segera akan mengikut pemberian parenteral vitamin B12 (1 mg), biasanya dengan retikulositosis dalam 2-4 hari, bila tidak ada penyakit peradangan yang menyertai. Kebutuhan fisiologis vitamin B12 adalah 1-5 µg/ 24 jam, dan respon hematologist telah diamati dengan dosis kecil ini, ini menunjukan bahwa pemberian minim dosis dapat digunakan sebagai uji terapeutik bila diagnosis defisiensi vitamin B12 diragukan. Jika ada bukti keterlibatan neurologis, 1 mg harus disuntikkan intramuscular harian selama 2 minggu. Terapi rumatan perlu selama hidup penderita, pemberian bulanan intramuscular vitamin B12 cukup.

4. Anemia hemolitik
Pada anemia hemolitik, umur eritrosit menjadi lebih pendek (normal umur eritrosit 100-120 hari)
Penyakit ini dapat dibagi menjadi dalam 2 golongan besar yaitu:
 Golongan dengan penyebab hemolisis yang terdapat dalam eritrosit sendiri. Umumnya penyebab hemolisis dalam golongan ini ialah kelainan bawaan (konginetal)
 Golongan dengan penyebab hemolisis ekstraseluler. Biasanya penyebabnya merupakan faktor yang didapat (acquired)
a. Gangguan intrakorpuskuler (konginetal)
Kelainan ini umumnya disebabkan oleh karena adanya gangguan metabolisme dalam eritrosit itu sendiri
Keadaan ini dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
Gangguan pada struktur dinding eritrosit
Gangguan enzim yang mengakibatkan kelainan metabolisme dalam eritrosit
Hemoglobinopatia
b. Gangguan struktur dinding eritrosit
• Sferositosis
Penyebab hemolisis pada penyakit ini diduga disebabkan oleh kelainan membran eritrosit. Kadang-kadang penyakit ini berlangsung ringan sehingga sukar dikenal. Pada anak gejala anemianya lebih menyolok daripada dengan ikterusnya, sedangkan pada orang dewasa sebaliknya. Suatu infeksi yang ringan saja sudah dapat menimbulkan krisis aplastik

Pengobatan
Transfusi darah terutama dalam keadaan krisis. Pengangkatan limpa pada keadaan yang ringan dan anak yang agak besar (2-3 tahun). Sebaiknya diberikan roboransia
• Ovalositosis (eliptositosis)
Pada penyakit ini 50-90% dari eritrositnya berbentuk oval (lonjong). Dalam keadaan normal bentuk eritrosit ini ditemukan kira-kira 15-20% saja. Penyakit ini diturunkan secara dominan menurut hukum mendel. Hemolisis biasanya tidak seberat sferositosis. Kadang-kadang ditemukan kelainan radiologis tulang. Splenektomi biasanya dapat mengurangi proses hemolisis dari penyakit ini.
• A-beta lipropoteinemia
Pada penyakit ini terdapat kelainan bentuk eritrosit yang menyebabkan umur eritrosit tersebut menjadi pendek. Diduga kelainan bentuk eritrosit tersebut disebabkan oleh kelainan komposisi lemak pada dinding sel
• Gangguan pembentukan nukleotida
Kelainan ini dapat menyebabkan dinding eritrosit mudah pecah, misalnya pada panmielopatia tipe fanconi

Anemia hemolitik oleh karena kekurangan enzim
• Definisi glucose-6- phosphate-Dehydrogenase (G-6PD)
• Defisiensi Glutation reduktase
• Defisiensi Glutation
• Defisiensi Piruvatkinase
• Defisiensi Triose Phosphate-Isomerase (TPI)
• Defisiensi difosfogliserat mutase
• Defisiensi Heksokinase
• Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase
Hemoglobinopatia
Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari hemoglobinnya (95%), kemudian pada perkembangan selanjutnya konsentrasi HbF akan menurun, sehingga pada umur satu tahun telah mencapai keadaan yang normal
Sebenarnya terdapat 2 golongan besar gangguan pembentukan hemoglobin ini, yaitu:
• Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglobin abnormal). Misal HbS, HbE dan lain-lain
• Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa) rantai globin. Misal talasemia

c. Gangguan ekstrakorpuskuler
Gangguan ini biasanya didapat (acquired) dan dapat disebabkan oleh:
 Obat-obatan, racun ular, jamur, bahan kimia (bensin, saponin, air), toksin(hemolisin) streptococcus, virus, malaria, luka bakar juga dapat menyebabkan anemia hemolitik
Hipersplenisme. Pembesaran limpa apapun sebabnya sering menyebabkan penghancuran eritrosit
Anemia oleh karena terjadinya penghancuran eritrosit akibat terjadinya reaksi antigen-antibodi.
• Antagonisme ABO atau inkompatibilitas golongan darah lain seperti Rhesus dan MN
• Alergen atau hapten yang berasal dari luar tubuh, tetapi dalam tubuh akan melekat pada permukaan eritrosit dan menimbulkan reaksi antigen-antibodi pada permukaan eritrosit dan hal ini dapat menyebabkan hemolisis. Kejadian tersebut dapat ditimbulkan oleh virus, bakteri atau obat-obatan seperti kina, PAS dan insektisida.

• Hemolisis dapat pula timbul akibat adanya reaksi autoimun.
Perjalanan penyakitnya bergantung pada penyebab hemolisisnya, bisa berlangsung ringan tetapi dapat juga terjadi akut, cepat dan dapat menyebabkan kematian. Pada keadan yang sangat berat sering terjadi hemoglobinuria dan hemoglobin yang bebas ini diduga merusak tubulus ginjal sehingga terjadi oliguria, bahkan kerusakan ginjal itu bukan disebabkan oleh hemoglobin bebas semata-mata, tetapi juga oleh karena terjadinya mikroangiopatia dari pembuluh darah ginjal. Oleh karena terjadi pembuatan trombin yang berlebihan, maka dalam hal ini diperlukan pemberian heparin.

Pengobatan
Pada keadaan yang berat, akibat keracunan obat-obatan, pemberian transfusi darah dapat menolong penderita. Kadang-kadang diperlukan pula transfusi tukar. Pada anemia hemolitik oleh karena proses imun maka pemberian darah harus hati-hati oleh karena hal ini dapat menambah proses hemolisis. Dalam hal ini sebaiknya diberikan transfusi eritrosit yang telah dicuci.
Diberikan pula prednison atau hidrokortison dengan dosis tinggi pada anemia hemolitik imun ini. Bila perlu diberikan preparat kortikosteroid secara intravena. Apabila didapatkan gagal ginjal akut, maka diberikan cairan dan obat-obatan sesuai dengan penatalaksanaan dari gagal ginjal akut. Pada anemia hemolitik autoimun yang biasanya berlangsung lama, maka disamping pemberian prednison, juga diberikan azatioprin (imuran).
5. Anemia aplastik
Merupakan keaadan yang disebabkan berkurangnya sel darah dalam darah tepi, akibat terhentinya pembentukan sel hemopoetik dalam sumsum tulang.

Sistim limfopoetik dan RES sebenarnya dalam keadaan aplastik juga, tetapi relatif lebih ringan dibandingkan dengan ketiga sistem hemopoetik lainnya. Aplasia ini hanya dapat terjadi pada satu, dua atau ketiga sistem hemopoetik (eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik)
Aplasia yang hanya mengenai sistem eritropoetik disebut eritroblastopenia (anemia hipoplastik), yang hanya mengenai sistem granulopoetik saja disebut agranulositosis (penyakit schultz), sedangkan yang hanya mengenai sistem trombopoetik disebut amegakariostik trombositopenik purpura (ATP). Bila mengenai sistem disebut panmiel optisis atau lazimnya disebut anemia aplastik.

Panmieloptisis (anemia aplastik)
Kecuali jenis kongenital, anemia aplastik biasanya terdapat pada anak berumur lebih dari 6 tahun. Depresi sumsum tulang oleh obat atau bahan kimia, meskipun ,dengan dosis rendah tetapi berlangsung sejak usia muda secara terus-menerus, baru akan terlihat pengaruhnya setelah beberapa tahun kemudian. Misalnya pemberian kloramfenikol yang terlampau sering pada bayi (sejak umur 2-3 bulan), baru akan menyebabkan gejala anemia aplastik setelah ia berumur lebih dari 6 tahun. Disamping itu pada beberapa kasus gejala sudah timbul hanya beberapa saat setelah ia kontak dengan gen penyebabnya.
a. Etiologi
Faktor konginetal
Sindrom fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali jari, kelainan ginjal dan sebagainya.
Faktor didapat
• Bahan kimia: benzene, insektisida, senyawa As, Au, Pb.
• Obat: kloramfenikol, mesantoin (antikonvulsan), piribenzamin (antihistamin), santonin-kalomel, obat sitostatika (myleran, methrotrexate, TEM, vincristine, rubidomycine, dan sebagainya)
• Radiasi: sinar, rontgen, radioaktif
• Faktor individu: alergi terhadap obat, bahan kimia dan lain-lain
• Infeksi: tuberkolosis milier, hepatitis dan sebagainya
• Lain-lain: keganasan, penyakit ginjal, gangguan endokrin
• Idiopatik: merupakan penyebab yang paling sering. Akhir-akhir ini faktor imunologis telah dapat menerangkan etiologi golongan idiopatik ini.
b. Gejala klinis dan Hematologis
Pada prinsipnya berdasarkan gambaran sumsum tulang yang berupa aplasia sistem eritropoetik, granulopoetik dan trompoetik, serta aktifitas relatif sistem limfopoetik dan RES Aplasia sistem eritropoetik dalam darah tepi akan terlihat sebagai retikulositopenia yang disertai dengan merendahnya kadar Hb, hematrokit dan hitung eritrosit. Klinis klien akan terlihat pucat dan berbagai gejala anemia lainya seperti anoreksia, lemah, palpitasi, sesak karena gagal jantung dan sebagainya.
c. Pengobatan
Prednison dan testosteron
Prednison diberikan dengan dosis 2-5 mg/kgbb/hari peroral, sedangkan testosteron dengan dosis 1-2 mg/kgbb/hari sebaiknya secara parenteral. Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa testosteron lebih baik diganti dengan oksimetolon yang mempunyai daya anabolik dan merangsng sistem. Hematopoetik lebih kuat dan diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgbb/hari peroral. Pada pemberian oksimetolon ini hendaknya diperhatikan fungsi hati.
Pengobatan biasanya berlangsung berbulan-bulan, bahkan dapat sampai bertahun-tahun. Bila telah terdapat remisi, dosis obt diberikan separuhnya dan jumblah sel darah diawasi setiap minggu. Kemudian jika terjadi relaps, dosis obat harus diberikan penuh kembali.
Transfusi darah
Transfusi darah diberikan jika hanya diperlukan. Pada keadaan yang sangat gawat (pendarahan masif, pendarahan otak dan sebagainya) dapat diberikan suspensi trombosit
Pengobatan terhadap infeksi sekunder
Untuk menghindarkan dari infeksi, sebaiknya diisolasi dalam ruangan yang ’suci hama’. Pemberian obat antibiotika hendaknya dipilih yang tidak menyebabkan depresi sumsum tulang. Kloramfenikol tidak boleh diberikan.
Makanan
Disesuaikan dengan keadaan, umumnya diberikan makanan lunak. Hati-hati pada pemberian makanan melalui pipa lambung karena mungkin menyebabkan luka/pendarahan pada waktu pipa dimasukkan
Istirahat
Untuk mencegah terjadinya pendarahan, terutama pendarahan otak.

F. KOMPLIKASI
Komplikasi umum anemia meliputi:
1. Gagal jantung
Gagal jantung adalah pemberhentian sirkulasi normal darah dikarenakan kegagalan dari ventrikel jantung untuk berkontraksi secara efektif pada saat systole. Akibat kekurangan penyediaan darah, menyebabkan kematian sel dari kekurangan oksigen. Cerebral hypoxia, atau kekurangan penyediaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernafas dengan tiba-tiba.
2. Kejang
Gerakan yang tidak dikendalikan karena ada masalah di otak disebut kejang.
3. Perestesia

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Lakukan pengkajian fisik
b. Dapatkan riwayat kesehatan, termasuk riwayat diet
c. Observasi adanya manifestasi anemia
◦ Manivestasi umum
Kelemahan otot
Mudah lelah
Kulit pucat

◦ Manivestasi system saraf pusat
Sakit kepala
Pusing
Kunang-kunang
Peka rangsang
Proses berpikir lambat
Penurunan lapang pandang
Apatis
Depresi

◦ Syok (anemia kehilangan darah)
Perfusi perifer buruh
Kulit lembab dan dingin
Tekanan darah rendah dan tekanan darah setral
Peningkatan frekwensi jatung


2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigenasi ke sel/hipoksi
b. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan umum.
c. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan sistem pertahanan tubuh.
d. Resiko perdarahan b/d penurunan faktor pembekuan darah

3. Intervensi Keperawatan

NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigenasi ke sel/hipoksia.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan menunjukkan tingkat perfusi jaringan yang sesuai.
Kriteria Hasil:
1. Tidak ada sianosis sentral atau perifer.
2. Kulit hangat atau kering.
3. Status mental biasa.
1. Observasi perubahan status mental.
2. Observasi warna dan suhu kulit atau membrane mukosa.
3. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
4. Tinggikan kaki atau telapak bila di tempat tidur atau kursi.
5. Kaji untuk respon verbal melambat, mudah terangsang, bingung.
1. Gelisah, bingung, disorientasi atau perubahan sensori atau motor dapatmenunjukkan aliran darah, hipoksia atau cidera faskuler serebral (CSV) sebagai akibat emboli sistemik.
2. Kulit pucat/sianosis, kaku membrane bibir atau lidah menunjukkan vasokontriksi/ syok dan gangguan aliran sistemik.
3. Memaksimalkan transport oksigen ke jaringan.
4. Menurunkan status vena di kaki dan pengumpulan darah pada vena pelvis untuk menurunkan resiko pembentukan thrombus.
5. Dapat mengindikasikan gangguan fungsi serebral karena hipoksia atau defisiensi vitamin B12.

2. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan klien melaporkan peningkatan intoleransi aktifitas.
Kriteria Hasil:
4. Menunjukkan pernafasan normal.
5. Mendapatkan istirahat yang cukup.
TD dalam keadaan normal 1. Observasi adanya tanda kerja fisik (dispnea, sesak nafas, kunang-kunang, keletihan.
2. Antisipasi dan bantu dalam aktifitas kehidupan sehari-hari.
3. Beri pengalihan aktifitas.



4. Pilih teman sekamar yang sesuai dengan usia dan minat yang sama.
5. Pertahankan posisi fowler tinggi.
6. Ukur tanda vital selama istirahat.



1. Merencanakan istirahat yang tepat.
2. Untuk mencegah kelelahan.
3. Meningkatkan istirahat dengan tenang serta mencegah kebosanan dan menarik diri.
4. Untuk mendorong kepatuhan pada kebutuhan istirahat.
5. Untuk pertukaran udara ug optimal.
6. Untuk menentukan nilai dasar perbandingan selama periode aktifitas.



3. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan sistem pertahanan tubuh Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam mampu untuk mengidentifikasi perilaku untuk mencegah menurunkan infeksi.
Kriteria Hasil:
1. Klien.
2. Klien tidak menunjukkan bukti infeksi. 1. Tingkatkan cuci tangan yang baik oleh pemberi perawatan dan klien.
2. Pertahankan teknik aseptik ketat pada prosedur perawatan.
3. Berikan perawatan kulit.
4. Lindungi anak dari kontak dengan individu yang terinfeksi.
5. Pantau suhu.
1. Mencegah terjadinya kontaminasi bakterial.
2. Menurunkan resiko infeksi bakteri.
3. Menurunkan resiko kerusakan kulit atau jaringan.
4. Untuk meminimalkan pemejanan pada organisme infektif.
5. Adanya bukti infeksi dan membutuhkan pengobatan.
4. Resiko perdarahan b/d penurunan faktor pembekuan darah

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 24 jam diharapkan klien dapat mnurunkan resiko perdarahan.
Kriteria hasil:
1. mempertahankan homeastasis dengan tanpa perdarahan.
2. menunjukkan perilaku penurunan resiko perdarahan.
Mandiri
1. Awasi nadi, TD, dan CVP bila ada.
2. Catat perubahan mental atau tngkat kesadaran
3. Dorong menggunakan sikat gigi halus
4. Gunakan jarum kecil untuk injeksi, tekan lebih lama pada bagian bekas suntikan.
5. Hindarkan penggunaan produk yang mengandung aspirin

kolaborasi
6. Awasi Hb/Ht dan faktor pembekuan
7. Berikan obat sesuai indikasi. Vitamin tambahan (contoh: vit K, D, C)
1. Peningkatan nadi dengan penurunan TD dan CVP dapat menunjukkan kehilangan volume darah sirkulasi, memerlukan evaluasi lanjut.
2. Perubahan dapat menunjukkan perbahan perfusi jaringan serebral sekunder terhadap hipoolemia, hipoksemia.
3. Pada adanya gangguan faktor pembekuan, trauma minimal dapat menyebabkan perdarahan mukosa.
4. Meminimalkan kerusakan jaringan, menurunkan resiko perdarahan/hematoma
5. Koagulasi memanjang, berpotensi untuk resiko perdarahan.
6. Indikator anemia, perdarahan aktif/ terjadinya komplikasi (contoh: KID)
7. Menungkatkan sintesis protombin dan koagulasi



BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Anemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritrosit atau kadar Hb sampai di bawah rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat (Nelson,1999).
Anemia berarti kekurangan sel darah merah, yang dapat di sebabkan oleh hilangnya darah yang terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya produksi sel darah merah. (Guyton,1997).
Macam-macam atau klasifikasi dari anemia berdasarkan etiolognya yaitu: anemia pasca pendarahan (kehilangan darah mendadak, kehilangan darah menahun), anemia defisiensi besi, anemia megaloblastik (defisiensi asam folat dan B12), anemia hemolitik dan anemia aplastik


DAFTAR PUSTAKA


Abdulrrahman, dkk. 1995. Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Unifersitas. Jakarta
Behrman, Ricard E et all. Ilmu Kesehatan Anak. Vol 2. Jakarta: EGC.
Guyton, Arthur C. 1997. Fisiologi Kedokteran. Ed 9. Jakarta: EGC.
Price & Wilson. 1995. Patofisiologi. Jakarta: EGC
Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik/ Donna L. Wong: alih bahasa Monika ester, editor edisi bahasa indonesia, Sari kurniasih. Ed 4. Jakarta: EGC

Laporan pendahuluan hemostasis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Komponen penting dalam sistem Hemostasis
Sistem Hemostasis pada dasarnya terbentuk dari tiga kompartemen hemostasis yang sangat penting dan sangat berkaitan yaitu trombosit, protein darah dan jaring-jaring pembuluh darah. Agar terjadi peristiwa hemostasis yang normal, trombosit harus mempunyai fungsi dan jumlah yang normal. Sistem protein darah sangat berperan penting tidak hanya sebagai protein pembekuan akan tetapi sangat berperan dalam dalam fisiologi perdarahan dan trombosis.
II.1.1 Pembuluh darah
Pembuluh darah sangat besar peranannya dalam sistem hemostasis. Dinding pembuluh darah terdiri dari tiga lapisan morfologis: intima, media, dan adventitia. Intima terdiri dari (1) selapis sel endotel non trombogenik yang berhubungan langsung dengan pembuluh darah dan (2) membran elastik interna. Media dibentuk oleh sel otot polos yang ketebalannya tergantung dari jenis arteri dan vena serta ukuran pembuluh darah. Adventitia terdiri dari suatu membran elastik eksterna dan jaringan penyambung yang menyokong pembuluh darah tersebut. Gangguan pembuluh darah yang terjadi seringkali berupa terkelupasnya sel endotel yang diikuti dengan pemaparan kolagen subendotel dan membran basalis. Gangguan ini terjadi akibat asidosis, endotoksin sirkulasi, dan komplek antigen/antibodi sirkulasi.
Fungsi pembuluh darah meliputi permiabilitas yang apabila meningkat akan berakibat kebocoran pembuluh darah fragilitas yang apabila meningkat menyebabkan pecahnya pembuluh darah dan vaso konstriksi yang menyebabkan sumbatan vaskuler.

II.1.2 Trombosit
Trombosit merupakan komponen sistem hemostasis yang amat penting dan kompleks. Trombosit adalah kuntum sel yang dihasilkan dari megakariosit. Trombosit tidak punya inti dan disusun dari suatu zona perifer yang terdiri dari suatu glukokaliks sebelah luar, membran plasma, dan suatu sistem kanalikuler yang terbuka. Dalam zona perifer terdapat suatu zona "sol-gel" yang tersusun dari mikrotubulus, mikrofilamen, tubulus yang padat dan trombostenin yaitu protein trombosit yang dapat berkerut. Zona organel mengandung bahan-bahan padat, granula alfa dan mitokondria. Trombosit berbentuk bulat kecil atau cakram oval. Diameternya 2-4 mikron. Sel megakariosit yang menghasilkan trombosit merupakan sel yang sangat besar dalam susunan hemopoitik yang berada dalam sum-sum tuilang dan tidak meninggalkannya untuk memasuki darah.
Konsentrasi normal trombosit dalam darah adalah antara 150.000-350.000 mm kubik. Meskipun tidak mempunyai inti, trombosit mempunyai ciri fungsional sebagai sebuah sel. Dalam sitoplasma terdapat molekul aktif seperti : (1) aktin dan miosin yang menyebabkan trombosit berkontraksi, (2) sisa retikulum endoplasma dan aparatus golgi yang mensintesis enzim dan menyimpan besar ion kalsium, (3) sistem enzim yang mampu membentuk ATP dan ADP, (4) sistem enzim yang mensintesis prostaglandin, (5) suatu protein penting yaitu faktor pemantap fibrin, dan (6) faktor pertumbuhan yang dapat menyebabkan penggandaan dan pertumbuhan sel endotel pembuluh darah. Pada membran sel trombosit terdapat lapisan glikoprotein yang menyebabkan trombosit bisa melekat pada pembuluh darah yang luka, terutama pada sel endotel yang rusak dan jaringan kolagen yang terbuka. Trombosit juga mengandung fosfolipid yang dapat mengaktifkan salah satu sistem pembekuan darah yang disebut sistem intrinsik. Pada membran trombosit terdapat enzim adenilat siklase yang bila diaktifkan dapat menyebabkan pembentukan AMP siklik yang menggiatkan aktifitas dalam trombosit. Jadi trombosit merupakan struktur yang sangat aktif, waktu paruhnya 8-12 hari setelah itu mati. Trombosit kemudian diambil dari sirkulasi, terutama oleh makrofag jaringan. Lebih dari separuh trombosit diambil oleh makrofag pada waktu darah melewati kisi trabekula yang tepat. (Guyton, 1997)

II.1.3 Protein darah
Protein darah yang terlibat dalam hemostasis meliputi protein koagulasi, protein enzim fibrinolitik sistem kinin dan sistem komplemen serta inhibitor yang terdapat pada sistem-sistem tersebut. Sistem protein koagulasi terpusatkan pada tiga reaksi yaitu pada reaksi pembentukan faktor Xa, reaksi pembentukan trombin, dan reaksi pembentukan fibrin. Protease serin adalah faktor pembekuan yang diaktifkan pada reaksi pembentukan faktor Xa dan bagian yang aktif untuk aktivitas enzim adalah asam amino serin. Pada ketiga reaksi kunci tersebut memerlukan komponen-komponen seperti substrat, enzim, kofaktor, fosfolipoprotein dan kalsium. (Sodeman, 1995)

II.2 Mekanisme Hemostasis
Istilah hemostasis berarti pencegahan hilangnya darah. Bila pembuluh darah mengalami cidera atau pecah, hemostasis akan terjadi. Peristiwa ini terjadi melalui beberapa cara yaitu : vasokonstriksi pembuluh darah yang cidera, pembentukan sumbat trombosit, pembekuan darah, dan pertumbuhan jaringan ikat kedalam bekuan darah untuk menutup pembuluh yang luka secara permanen. Kerja mekanisme pembekuan in vivo ini diimbangi oleh reaksi-reaksi pembatas yang normalnya mencegah mencegah terjadinya pembekuan di pembuluh yang tidak mengalami cidera dan mempertahankan darah berada dalam keadaan selalu cair.
II.2.1. Vasokonstriksi pembuluh darah
Segera setelah pembuluh darah terpotong atau pecah, rangsangan dari pembuluh darah yang rusak menyebabkan dinding pembuluh berkontraksi sehingga aliran darah dari pembuluh darah yang pecah barkurang. Kontraksi terjadi akibat refleks syaraf dan spasme miogenik setempat. Refleks saraf dicetuskan oleh rasa nyeri atau lewat impuls lain dari pembuluh darah yang rusak. Kontraksi miogenik yang sebagian besar menyebabkan refleks saraf ini, terjadi karena kerusakan pada dinding pembuluh darah yang menimbulkan transmisi potensial aksi sepanjang pembuluh darah. Konstriksi suatu arterioul menyebabkan tertutupnya lumen arteri. (Guyton, 1997)

II.2.2. Pembentukan sumbat trombosit
Perbaikan oleh trombosit terhadap pembuluh darah yang rusak didasarkan pada fungsi penting dari trombosit itu sendiri. Pada saat trombosit bersinggungan dengan pembuluh darah yang rusak misalnya dengan serabut kolagen atau dengan sel endotel yang rusak, trombosit akan berubah sifat secara drastis. Trombosit mulai membengkak, bentuknya irreguler dengan tonjolan yang mencuat ke permukaan. Trombosit menjadi lengket dan melekat pada serabut kolagen dan mensekresi ADP. Enzimnya membentuk tromboksan A, sejenis prostaglandin yang disekresikan kedalam darah oleh trombosit. ADP dan tromboksan A kemudian mengaktifkan trombosit yang berdekatan sehingga dapat melekat pada trombosit yang semula aktif. Dengan demikian pada setiap lubang luka akan terbentuksiklus aktivasi trombosit yang akan menjadi sumbat trombosit pada dinding pembuluh. (Guyton, 1997)

II.2.3. Pembentukan bekuan darah
Bekuan mulai terbentuk dalam 15-20 detik bila trauma pembuluh sangat hebat dan dalam 1-2 menit bila trauma pembuluh kecil. Banyak sekali zat yang mempengaruhi proses pembekuan darah salah satunya disebut dengan zat prokoagulan yang mempermudah terjadinya pembekuan dan sebaliknya zat yang menghambat proses pembekuan disebut dengan zet antikoagulan. Dalam keadaan normal zat antikoagulan lebih dominan sehingga darah tidak membeku. Tetapi bila pembuluh darah rusak aktivitas prokoagulan didaerah yang rusak meningkat dan bekuan akan terbentuk. Pada dasarnya secara umum proses pembekuan darah melalui tiga langkah utama yaitu pembentukan aktivator protombin sebagai reaksi terhadap pecahnya pembuluh darah, perubahan protombin menjadi trombin yang dikatalisa oleh aktivator protombin, dan perubahan fibrinogen menjadi benang fibrin oleh trombin yang akan menyaring trombosit, sel darah, dan plasma sehingga terjadi bekuan darah.
a. Pembentukan aktivator protombin
Aktivator protombin dapat dibentuk melalui dua jalur, yaitu jalur ekstrinsik dan jalur intrinsik. Pada jalur ekstrinsik pembentukan dimulai dengan adanya peristiwa trauma pada dinding pembuluh darah sedangkan pada jalur intrinsik, pembentukan aktivator protombin berawal pada darah itu sendiri.
Langkah-langkah mekanisme ekstrinsik sebagai awal pembekuan
1. Pelepasan tromboplastin jaringan yang dilepaskan oleh jaringan yang luka. Yaitu fosfolipid dan satu glikoprotein yang berfungsi sebagai enzim proteolitik.
2. Pengaktifan faktor X yang dimulai dengan adanya penggabungan glikoprotein jaringan dengan faktor VII dan bersama fosfolipid bekerja sebagai enzim membentuk faktor X yang teraktivasi.
3. Terjadinya ikatan dengan fosfolipid sebagai efek dari faktor X yang teraktivasi yang dilepaskan dari tromboplastin jaringan . Kemudian berikatan dengan faktor V untuk membentuk suatu senyawa yang disebut aktivator protombin.






Gambar 1. Mekanisme ekstrinsik sebagai awal pembekuan
(Guyton, 1997)
Langkah-langkah mekanisme intrinsik sebagai awal pembekuan
1. Pengaktifan faktor XII dan pelepasan fosfolipid trombosit oleh darah yang terkena trauma. Bila faktor XII terganggu misalnya karena berkontak dengan kolagen, maka ia akan berubah menjadi bentuk baru sebagai enzim proteolitik yang disebut dengan faktor XII yang teraktivasi.
2. Pengaktifan faktor XI yang disebabkan oleh karena faktor XII yang teraktivasi bekerja secara enzimatik terhadap faktor XI. Pada reaksi ini diperlukan HMW kinogen dan dipercepat oleh prekalikrein.
3. Pengaktifan faktor IX oleh faktor XI yang teraktivasi. Faktor XI yang teraktivasi bekerja secara enzimatik terhadap faktor IX dan mengaktifkannya.
4. Pengaktifan faktor X oleh faktor IX yang teraktivasi yang bekerja sama dengan faktor VIII dan fosfolipid trombosit dari trombosit yang rusak untuk mengaktifkan faktor X.
5. Kerja dari faktor X yang teraktivasi dalam pembentikan aktivator protombin. Langkah dalam jalur intrinsic ini pada prinsipnya sama dengan langkah terakhir dalam jalur ekstrinsik. Faktor X yang teraktivasi bergabung dengan faktor V dan fosfolipid trombosit untuk membentuk suatu kompleks yang disebut dengan activator protombin. Perbedaannya hanya terletak pada fosfolipid yang dalam hal ini berasal dari trombosit yang rusak dan bukan dari jaringan yang rusak. Aktivator protombin dalam beberapa detik mengawali pemecahan protombin menjadi trombin dan dilanjutkan dengan proses pembekuan selanjutnya.










Gambar 2. Mekanisme instrinsik sebagai awal pembekuan
(Guyton, 1997)
b. Perubahan protombin menjadi trombin yang dikatalisis oleh activator protombin.
Setelah activator protombin terbentuk sebagai akibat pecahnya pembuluh darah, activator protombin akan menyebabkan perubahan protombin menjadi trombin yang selanjutnya akan menyebabkan polimerisasi molekul-molekul fibrinogen menjadi benang-benang fibrin dalam 10-15 detik berikutnya. Pembentukan activator protombin adalah faktor yang membatasi kecepatan pembekuan darah. Protombin adalah protein plasma, suatu alfa 2 globulin yang dibentuk terus menerus di hati dan selalu dipakai untuk pembekuan darah. Vitamin K diperlukan oleh hati untuk pembekuan protombin. Aktivator protombin sangat berpengaruh terhadap pembentukan trombin dari protombin. Yang kecepatannya berbanding lurus dangan jumlahnya. Kecepatan pembekuan sebanding dengan trombin yang terbentuk.
c. Perubahan fibrinogen menjadi fibrin.
Trombin merupakan enzim protein yang mempunyai kemampuan proteolitik dan bekerja terhadap fibrinogen dengan cara melepaskan 4 peptida yang berberat molekul kecil dari setiap molekul fibrinogen sehingga terbentuk molekul fibrin monomer yang mempunyai kemampuan otomatis berpolimerisasi dengan molekul fibrin monomer lain sehingga terbentuk retikulum dari bekuan. Pada tingkat awal dari polimerisasi, molekul-molekul fibrin monomer saling berikatan melalui ikatan non kovalen yang lemah sehingga bekuan yang dihasilkan tidaklah kuat daan mudah diceraiberaikan. Oleh karena itu untuk memperkuat jalinan fibrin tersebut terdapaat faktor pemantap fibrin dalaam bentuk globulin plasma. Globulin plasma dilepaskan oleh trombosit yang terperangkap dalam bekuan. Sebelum faktor pemantap fibrin dapat bekerja terhadap benang fibrin harus diaktifkan lebih dahulu. Kemudian zat yang telah aktif ini bekerja sebagai enzim untuk menimbulkan ikatan kovalen diantara molekul fibrin monomer dan menimbulkan jembatan silang multiple diantara benang-benang fibrin yang berdekatan sehingga menambah kekuatan jaringan fibrin secara tiga dimensi
II.3 Kelainan Patofisiologi Hemostasis dan Pembekuan darah
Kelainan patofisiologis hemostasis dan pembekuan darah bias disebabkan oleh defisiensi salah satu faktor pembekuan dan kelainan jumlah trombosit. Perdarahan hebat dapat terjadi akibat defisiensi vitamin K, hemofilia serta trombositopenia. Selain itu kelainan dapat terjadi akibat adanya bekuan yang terbentuk secara abnormal seperti pada keadaan tromboembolus pada manusia.
a. Perdarahan hebat akibat defisiensi vitamin K
Akibat kekurangan vitamin K, seseorang otomatis akan mengalami penurunan protombin, faktor VII, faktor IX, dan faktor X. Hampir seluruh faktor pembekuan dibentuk di hati. Oleh karena itu penyakit-penyakit hati seperti hepatitis, sirosis, acute yellow tropy dapat menghambat system pembekuan sehingga pasien mengalami perdarahan hebat. Vitamin K diperlukan untuk pembentukan faktor pembekuan yang sangat penting yaitu protombin, faktor IX, faktor X dan faktor VII. Vitamin K disintesis terus dalam usus oleh bakteri sehingga jarang terjadi defisiensi. Defisiensi vitamin K dapat terjadi pada orang yang mengalami gangguan absorbsi lemak pada traktus gastrointestinalis. Selain itu disebabkan juga karena kegagalan hati mensekresi empedu dalam traktus intestinalis akibat obstruksi saluran empedu.
b. Hemofilia
Hemofilia adalah kecenderungan perdarahan yang hampir selalu terjadi pada pria yang disebabkan defisiensi faktor VIII yang dikenal dengan nama hemofilia A atau hemofilia klasik. Faktor tersebut diturunkan secara resesif melalui kromosom wanita. Oleh karena itu hampir seluruh wanita tidak pernah menderita hemofilia karena paling sedikit satu dari duaa kromosom X nya mempunyai gen-gen sempurna. Tetapi bila salah satu kromosom X nya mengalami defisiensi maka akan menjadi carier hemofilia. Perdarahan pada hemofilia biasanya tidak terjadi kecuali mendaapat trauma. Faktor pembekuan VIII terdiri dari dua komponen yang terpisah. Komponen yang kecil sangat penting untuk jalur pembekuan intrinsic dan defisiensi komponen ini mengakibatkan hemofilia klasik. Tidak adanya komponen besar dari faktor pembekuan VIII menyebabkan penyakit willebrand.
c. Trombositopenia.
Trombositopenia berarti trombosit dalam system sirkulasi jumlahnya sedikit. Penderita trombositopenia cenderung mengalami perdarahan seperti pada hemofilia. Tetapi perdarahannya berasal dari kapiler kecil bukan dari pembuluh yang besar seperti pda hemofilia. Sehingga timbul bintik-bintik perdarahan pada seluruh jaringan tubuh. Kulit penderita menampakkan bercak-bercak kecil berwarna ungu yang disebut dengan trombositopenia purpura. Sebagian besar penderita trombositopenia mempunyai penyakit yang dikenal dengan trombositopenia idiopatik yang berarti tidak diketahui penyebabnya. Jumlah trombosit dalam darah dapat berkurang akibat adanya abnormalitas yang menyebabkan aplasia sum-sum tulang. Penghentian perdarahan dapat dicapai dengan memberikan tranfusi darah segar. Prednison dan azatioprin yang bersifat menekan pembentukan antibodi bermanfaat bagi penderita trombositopenia idiopatik.
d. Keadaan Tromboembolik pada Manusia
Bekuan yang abnormal yang terbentuk dalam pembuluh darah disebut thrombus. Darah yang mengalir dapat melepaskan trombus itu dari tempat perlekatannya, dan bekuan yang mengalir bebas dikenal dengan embolus. Embolus akan terus mengalir sampai suatu saat tersangkut di pembuluh darah yang sempit. Embolus yang berasal dari arteri besar atau jantung bagian kiri akan menyumbat arteri sistemik atau arterioul. Embolus yang berasal dari system vena dan jantung bagian kanan akan mengalir memasuki pembuluh paru dan menyebabkan emboli dalam arteri paru. Penyebab timbulnya tromboembolus pada manusia adalah arteriosclerosis, infeksi atau trauma yang menyebabkan permukaan endotel pembuluh yang kasar. Hal tersebut dapat mengawali proses pembekuan. Sebab lain adalah karena darah sering membeku bila mengalir sangat lambat, karana sejumlah kecil trombin dan prokoagulan lain selalu dibentuk. Bekuan tersebut dihilangkan dari peredaran darah oleh makrofag terutama sel kupfer di hati. Bila darah mengalir terlalu lambat maka kadar prokoagulan meningkat sehingga proses pembekuan akan dimulai. Karena pembekuan hampir selalu terjadi pada darah yang terhambat alirannya dalam pembuluh dalam beberapa jam, maka imobilitas pasien ditempat tidur ditambah dengan penyanggaan lutut dengan bantal sering menimbulkan pembekuan intravaskular disebabkan bendungan darah vena tungkai selama beberapa jam.
Bekuan tersebut bertambah besar terutama ke daerah yang bergerak lamban kadang sampai mengisi seluruh panjang vena tungkai dan bahkan tumbuh ke atas sampai ke vena iliaka komunis dan vena kava inferior. Bagian besar dari bekuan terlepas dari perlekatannya pada dinding pembuluh darah dan mengalir secara bebas mengikuti darah vena ke jantung bagian kanan kemudian ke arteri pulmonalis menimbulkan emboli paru yang masif.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hemostasis dan pembekuan darah merupakan salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam tubuh kita sebagai suatu mekanisme pertahanan tubuh terhadap agensia. Istilah Hemostasis berarti pencegahan hilangnya darah. Bila pembuluh darah mengalami cedera hingga pecah maka peristiwa Hemostasis akan terjadi melalui proses spasme pembuluh darah, pembentukan sumbat trombosit, pembekuan darah, dan pertumbuhan jaringan ikat ke dalam bekuan darah untuk menutup lubang pembuluh secara permanen. Komponen dasar pada peristiwa ini ada 3 yaitu pembuluh darah, trombosit dan protein darah. Agar terjadi peristiwa Hemostasis yang normal, trombosit harus mempunyai jumlah dan fungsi yang normal. Pembuluh darah dan protein darah juga sangat berperan penting dalam fisiologi Hemostasis. Kelainan patofisiologi Hemostasis dan pembekuan darah dapat terjadi karena kekurangan salah satu faktor pembekuan seperti terjadinya perdarahan akibat kekurangaan vitamin K sehingga mengakibatkan jumlah protombin, faktor VII, faktor IX dan faktor X berkurang. Selain itu akan terjadi kelainan penyakit lain seperti hemofilia dan trombositopenia. Keadaan tromboembolik pada manusia juga merupakan kelainan patofisiologis Hemostasis yang mengakibatkan adanya bekuan abnormal pada pembuluh darah.

DAFTAR PUSTAKA

Ganong, W. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran . Edisi 14. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 524-30

Gilvery, Robert W M C., Goldstein, Geral W. 1996. Biokimia Suatu Pendekatan Fungsional. Edisi 3 Alih Bahasa Dr. Tri Martini Sumarno. Surabaya : Penerbit AUP. Hal 376-87

Guyton, A., & Hall, J. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9 Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 250-315

Kosasih. dr. E.N. 1982. Kapita Selekta Hematologi Klinik. Penerbit Alumni. Jakarta. Hal 103-43

Sodeman. 1995. Patofisiologi : Mekanisme Penyakit. Jakarta. Hal 373-82

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN COLECISTITIS

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN
DENGAN COLECISTITIS
1. KONSEP TEORI
1. Pengertian
Kolesistitin adalah peradangan kandung empedu baik secara akut
ataupun kronis (Barbara C. Long, 1996 : 154)
2. Etiologi
Colecistitin dapat terjadi d/k :
1. Sumbatan ductus hillary d/k Batu
2. Infeksi bakteri gram negatif :
 Klebsiella 54%
 Escherichia 39%
 Enterokokus dan
 Bacteroides 25% (Intisari Ilmu Bedah, 1995 : 463)
Colecistitis dan coteliliaty dapat terjadi persamaan atau sendiri-sendiri. Keduanya
bisa sebagai penyebab (saling menyebabkan). Akan tetapi kemungkinan infeksi
disebabkan oleh obstruksi lebih besar (sering) dibandingkan infeksi menyebabkan
obstruksi.
3. Patofisiologi
Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan super saturasi
progrsif, perubahan susunan kimia, pengendapan. Gangguan kontraksi spinkter odci
dan kandung empedu dapat juga menyebabkan statis. Faktor hormone (kehamilan)
menyebabkan perlambatan pengosongan kandung empedu. Akibat statis, terjadilah
sumbatan empedu (saluran). Adanya batu akibat statis yang progresif tadi
memungkinkan terjadi trauma dinding kandung empedu dan ini dapat memungkinkan
infasi bakteri lebih cepat.
4. Gambaran Klinis
Pada bentuk akut biasanya ditandai dengan :
1. Nyeri mendadak (hebat/kalk) pada perut kanan atas (midenigastrium) menyebar
ke punggung dan bahu kanan.
2. Nausea, vomiting.
3. Keringat banyak.
Pada bentuk kronis gejalanya mirip dengan kolesistitis akut, akan
tetapi berat rasa sakit dan tanda-tanda fisik yang kurang nyata. Sering kali
ditemukan riwayat dispepsia intoleransi lemak. Heart burn atau flatulent yang
berlangsung lama.
5. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Non Bedah
1) Indoskopi
2) Pemberian agen pelarut kolesterol
3) Obat-obatan antibiotik, analgetik, antasida
4) Diit rendah lemak
5) Penatalaksanaan keseimbangan cairan
6) Penatalaksanaan muntah k/p NGT
2. Penatalaksanaan Bedah
1) Extra corpeal shock wave litotripsi lesw
2) Kolesitosistoli totomi perkutan
3) Kolistatomi
2. TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian (Doengoes, 2000 : 521)
3. Istirahat
 Adanya kelemahan
 Gelisah
4. Sirkulasi, ditemukan tanda :
 Takikardia, berkeringat
5. Eliminasi, ditemukan
 Perubahan warna urine 2 feces
 Distensi abdomen
 Teraba masa pada kwadran kanan atas
 Urine gelap / coklat
 Feces seperti tanah liat, skatore
6. Makanan / cairan, ditemukan
 Anoreksia, mual muntah
 Tidak toleran terhadap lemak
 Regurgitasi berulang tidak dapat makan d/k nyeri, featus sering,
ispepsia
 Kegemukan, penurunan BB
7. Nyeri, kenyamanan
 Nyeri abdomen atas (kanan) menyebar ke punggung / bahu kanan
 Kolik agistrium sehubungan dengan makan.
 Nyeri tiba-tiba biasanya memuncak setelah 30 menit
 Nyeri lepas, otot tegang / kaku bila K. kanan atas ditekan : Murphy
Might (+)
8. Pernafasan
 Peningkatan frekwensi
 Nafas pendek dangkal
9. Keamanan
 Menggigil, demam
 Icterus, dengan kulit
 Kecenderungan perdar
10. Pemeriksaan biasa
 Darah lengkap
 Bilirubin & a
 SGOT/SGPT :
 Protora.bin : turun
 Ultrasond : menunjuk
 Foto abdomen : adanya batu.
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan proses lucen (spasme biliaris)
2. Kekurangan volume cairan (resiko tinggi terhadap) berhubungan dengan muntah
3. Resiko tinggi perubahan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan
gangguan pencernaan lemak, gx natrium
4. Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognose, pengobatan berhubungan dengan
salah interprestasi.
Perencanaan
Dx 1 nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
Tujuan
Nyeri terkontrol, teradaptasi
Kriteria hasil
 Penurunan respon terhadap nyeri (expresi)
 Laporan nyeri terkontrol
Rencana intervensi :
 Observasi catat lokasi, tingkat dan karakter nyeri
Rasional : membantu mengidentifikasi nyeri dan memberi informasi
tentang terjadinya perkembangannya.
 Catat respon terhadap obat nyeri
 Tingkatkan tirah baring (fowler) / posisi yang nyaman
Rasional : posisi fowler menurunkan tekanan-tekanan intra abdominal.
 Ajarkan tehnik relaksasi (nafas dalam)
Rasional : meningkatkan istirahat dan koping
 Ciptakan lingkungan yang nyaman (turunkan suhu ruangan)
Rasional : mendukung mental psikologik dalam persepsi terhadap nyeri.
 Berikan diit rendah lemak
Rasional : mencegah awal dan spasme
 Kompres hangat
Rasional : dilatasi dinding empedu spasme menurun.
 Kolaborasi :
· Antibiotik
· Analgetik
· Sedatif
· Relaksasi otot halus
Dx 2 resiko tinggi kekurangan cairan volume cairan berhubungan dengan
muntah
Tujuan :
Menunjukkan keseimbangan cairan yang adekuat
Kriteria hasil :
- Turgor kulit baik
- Membran mukosa lembab
- Pengisian kapiler baik
- Urine cukup
- Tanda-tanda untuk stabil
Rencana intervensi
1. Pertahankan intake dan output cairan
Rasional : mempertahankan volume sirkulasi
2. Awas tanda peningkatan rangsangan muntah
Rasional : mencegah muntah
3. Anjurkan cukup minum (1 botol aqua 1500 ml/nr)
4. Kolaborasi :
· Pemberian antiametik
· Pemberian cairan iv
· Pemasangan NGT
Dx 3 resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan gx pencernaan lemak, mual muntah.
Tujuan :
Menunjukkan kestabilan BB
Kriteria hasil :
- BB stabil
- Laporan tidak mual / muntah
Rencana intervensi
1. Kaji perkiraan kebutuhan kalori tubuh
Rasional : menerapkan jumlah intake kalori yang di tiap hari
2. Timbang BB sesuai indikasi
Rasional : mengawali keseimbangan diit / keefektifan
3. Diskusikan menu yang disukai dan ditoleransi
Rasional : meningkatkan toleransi intake makanan
4. Anjurkan giosok gigi sebelum makan / sesudah
Rasional : menjaga kebersihan mulut (tidak bau dan meningkatkan
nafsu makan.
5. Konsul ahli gizi untuk menetepkan diit yang tepat
6. Anjurkan mengurangi makanan berlemak dan menghasilkan gas
Rasional : menurunkan rangsangan KK
7. Kolaborasi
· Nutrisi total
· Garam empedu
Dx 4. kurang pengetahuan berhubungan dengan salam interprelasi
Tujuan :
Menyatakan pemahaman klien
Kriteria hasil :
Melakukan perubahan pola hidup dan berpertisipasi dalam pengobatan.
Rencana tindakan :
1. Kaji informasi yang pernah didapat
Rasional : mengkaji tingkat pemahaman klien
2. Beri penjelasan tentang penyakit, prognase dan tindakan diagnostik
Rasional : memungkinkan terjadinya partisipasi aktif.
3. Beritahukan setiap tindakan yang akan dilakukan / (tujuan prosedur)
4. Beritahukan diit yang tepat, tehnik relaksasi, untuk persiapan operasi.
5. Anjurkan tehnik istirahat yang harus dilaporkan tentang sakitnya.
LAPORAN KASUS
PENGKAJIAN
Biodata
Identitas Pasien
1. Nama : Ny. LL
2. Tempat/Tgl Lahir : 39 th
3. Suku / Bangsa : Indonesia
4. Agama : Islam
5. Status Marital : Marid
6. Pendidikan / Pekerjaan : Ibu rumah tangga
7. Bahasa yang dipakai : Jawa
8. Alamat No. Telp. : Tawang sari barat RT 15 / RW IV SDA
9. MRS : 18 Maret 2002
1. Alasan Masuk Rumah Sakit
i. Alasan Dirawat
- Nyeri perut kanan atas (3 hari terus menerus). Mulai dirasakan
adanya nyeri 14 hari sebelumnya mual dan panas
- Saat ini sudah tidak nyeri lagi
ii. Keluhan Utama
Mual, nafsu makan turun sejak sakit.
2. Riwayat Kesehatan
iii. Riwayat kesehatan sebelum ini
 Klien sebelumnya dirawat di RS siti khotijah SPJ dengan sakit
yang sama.
Karena pengin cepet sembuh, minta pindah ke Rumah Sakit Soetomo Surabaya.
iv. Riwayat penyakit sekarang
- Klien mendadak sakit perut kanan atas, mual dan panas, lalu
klien dirawat di RS Khotijah.
Karena tidak ada perubahan dan nyeri menjadi terus menerus, klien dibawa ke Rumah
Sakit Soetomo tg 28 Maret 2002 dan MRS keluhan mual dan panas sempat terjadi
lagi disertai nyeri.
v. Riwayat kesehatan keluarga
 Tidak ada yang menderita penyakit seperti ini.
3. Aktivitas Hidup Sehari-hari
vi. Pola Makan dan Minum
Pre masuk rumah sakit Di rumah sakit
- Klien makan tanpa pantangan
3x/hr
- Saat mulai sakit klien merasa
nafsu makan turun, dan mual
bila makan yang berlemak
- Minuman yang sering di
konsumsi the manis dan air
putih ± 4 gelas perhari
- Mual-mual dan tidak pernah
menghabiskan porsi makan yang
disediakan.
- Minum cukup banyak sehari
bisa 1½ botol aqua 1½ literan.
Eliminasi (BAB dan BAK)
Pre masuk rumah sakit Di rumah sakit
Sebelum sakit BAB dan BAK biasa.
BAB 1 x/hr, BAK 3 x/hr. warna
BAB kuning khas, urine kuning
khas urine saat mulai sakit faeces
kadang pucat / putih
Frekuensi BAB dan BAK tetap, tapi
faeces pucat seperti dempul dam
faeces kuning gelap.
vii. Istirahat / Tidur
Sebelum dan selama dirawat klien tidak mengeluh adanya gangguan
istirahat tidur 10 jam/hr.
viii. Aktivitas
Pre masuk rumah sakit Di rumah sakit
- Selama tidak ada nyeri klien
dapat melaksanakan kegiatan
seperti biasa
- Saat dikaji awal klien tampak
sehat, tidak ada keluhan.
Baru setelah di operasi 9-4-
2002 klien istirahat baring
karena dipasang infus.
ix. Kebersihan Diri
Sebelum MRS Selama dirawat
Mandi 2 x, gosok gigi 3 x cuci
rambut 3 x/minggu, potong kuku
sewaktu-waktu
Sama saat masih di rumah
4. Psikososial
 Klien tampak tenang menghadapi sakitnya dan tindakan yang akan
dilakukan padanya.
 Klien hanya menanyakan kapan dioperasi.
5. Pemeriksaan Tubuh
 K/u sebelum dioperasi k/u baik
 - Kesadaran : GCS 456
- Penampilan : TB 150 cm BB : 45 kg
- Nadi : 80 x/mnt, Tensi : 120/80 mmHg, RR : 16 x/mnt, Suhu :
37°C
 Pada pemeriksaan mata :
Dijumpai sclera kekuningan.
 Pada pemeriksaan abdomen
Sebelum operasi dirasakan nyeri tekan spigastrum tanda radang (-)
 Pemeriksaan kulit : kuning pada seluruh tubuh.
 Lain-lain tidak ditemukan kelainan.
6. Pemeriksaan Penunjang
 Foto thorak
 ERCP
 Lab :
Bilirubin Direk 5,56
Indirek1,98
Total 7,54
SGOT/GPT : 105/63
BUN/Creat : 14/0,9
Na/Kal : 129/3,7
Hb : 11,8
PCV : 0,35
7. Terapi Yang Didapat
Pre op. Pot op.
- Ampicilin 4 x 1 gr
- Retro 3 x 500
- Cetotaxin 3 x 1 gr
- Bellatran 3 x 1 gr
- Cimetidin 3 x 1 m
- Vit. K.
- Feasill 3 x 500 mg
ANALISA DATA
SYMTOM ETIOLOGI PROBLEM
S
O
Mual dan nafsu makan turun sejak
sakit BD turun. Sebelum sakit BB
54 kg setelah sakit 45 kg tinggi
badan 150 cm
Setiap makan tidak dihabiskan TB
150 cm, BB 45 kg tonus otot lemah
Tidak efektifnya
pencernaan lemak
Resiko tinggi
perubahan nutrisi
kurang dari
kebutuhan
S
O
- Klien menanyakan kenapa
matanya sekarang kuning
- Klien menanyakan kapan di
operasi
- Klien mengungkapkan ketidak
mengertiannya tentang sakitnya.
-
Tidak adanya
pemahaman
Kurang
pengetahuan
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi perubahan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan
tidak adekuat/efektifnya pencernaan lemak
2. Kurang pengetahuan terhadap prognose, pengobatan dan penyakitnya
berhubungan dengan pemahaman yang tidak adekuat.
PERENCANAAN
Dx 1 kurang pengetahuan berhubungan dengan pemahaman tidak adekuat
Tujuan :
Setelah mendapat asuhan keperawatan klien memahami penyakitnya dan segala
prosedur yang harus dilakukan (setelah diberikan penjelasan)
Kriteria hasil :
- Mampu menjelaskan kembali informasi tentang penyakitnya
- Prognose serta tindakan yang akan dilakukan.
-
Rencana intervensi
1. Kaji tingkat pemahaman dan informasi yang pernah di dapat tentang penyakitnya
(prognose dan prosedur diagnostik)
Rasional : tidak mengulang-ulang informasi yang pernah diberikan
2. Beritahukan bahwa operasi akan dilakukan tanggal 19-4-2002 dan prosedur yang
harus dilakukan sebelum operasi (persiapan operasi)
Rasional : mempersiapkan klien baik secara pengetahuan maupun mental
3. Berikan penjelasan setiap tindakan yang akan dilakukan.
Rasional : meningkatkan pengetahuan dan merangsang kooperatif.
4. Libatkan keluarga dalam pemberian informasi
Rasional : meningkatkan penyerapan informasi dan kooperatif
5. Beritahukan dan ajarkan tentang perlunya (nafas dalam, batuk efektif)
Rasional : meningkatkan koping setelah operasi
6. Laksanakan persiapan operasi mulai sekarang
Rasional : setiap tahap persiapan operasi yang mungkin dilakukan saat itu harus
segera dilakukan untuk memperlancar kegiatan operasi.
Intervensi (implementasi)
1. Menanyakan tentang pengetahuan dan informasi yang didapat klien terhadap
penyakitnya, prognose dan prosedur dan prosedur diagnostik yang akan
dilakukan.
2. Memberitahukan operasi xxxx pagi tanggal 5-4-2002 jam 10.00 pagi
Memberitahukan prosedur yang harus dilakukan klien (bersama tim
medis/parameter) menjelang / sebelum operasi.
3. Memberikan penjelasan setiap melakukan tindakan.
4. Melibatkan keluarga dalam pemberian informasi akan dilaksanakannya
prosedur / operasi.
5. Mengajarkan batuk efektif dan latihan nafas dalam dan memberikan klien
kesempatan untuk menunjukkan keberhasilannya.
6. Melaksanakan persiapan operasi
· Menyiapkan informed consent
· Menyiapkan darah dan obat-obatan yang diperlukan.
· Menyiapkan keperluan lavement
· Menyiapkan pencukuran xxxxx
· Menyiapkan puasa
Resiko tinggi
 Perubahan nensi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan pencernaan lemak
tidak efektif.
 Tujuan
Klien menunjukkan kemajuan dalam mempertahankan BB
 Kriteria hasil
- Mual hilang / berkurang
- Melaporkan kestabilan BB
 Rencana
1. Kaji distensi abdomen, hambatan intake dan perkiraan intake output
Rasional : mengidentifikasi tingkat kebutuhan nutrisi
2. Timbang bb setiap 2 hari
Rasional : mengawasi keefektifan rencana diit
3. Diskusikan rencana / diit yang disukai / ditolelir
Rasional : meningkatkan toleransi makanan
4. Konsul gizi untuk pemberian diit rendah lemak berserat dan batasi makanan
berbentuk gas
Rasional : meminimalkan kerja usus dan meminimalkan rangsangan
kandungan empedu.
5. K/p berikan empedu (garam dan empedu)
Rasional : mendukung pencernaan lemak.
6. Anjurkan mengurangi makanan berlemak
Implementasi (Dx 2)
1. Mengkaji distensi abdomen, intake dan output
2. Menimbang BB setiap 2 hari mendiskusikan rencana diit yang disukai / ditolerir
klien
3. Melakukan konsul ke ahli gizi untuk menetapkan diit dan memesan diit rendah
lemak dan tidak merangsang pembentukan gas
4. Menganjurkan klien mengurangi makanan yang mengandung lemak (gorenggorengan,
daging gajih, dll).
EVALUASI
Dx 1 kurangnya pengetahuan berhubungan dengan pemahaman yang tidak adekuat
Tanggal 9-4-2002
S :
O :
A :
P :
- Klien menyatakan kembali pernyataannya tentang sakit prognose dan
prosedur yang akan dilakukan
- Klien mengerti dan siap kalau besok operasi
- Klien kooperatif terhadap persiapan operasi
- Klien menunjukkan latihan batuk efektif dan nafas dalam dengan benar.
Tujuan tercapai
Intervensi dihentikan
Dx 2 resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
pencernaan lemak tidak efektif
Tanggal 10-4-2002
S :
O :
A :
P :
- Klien masih merasa mual kalau makan
- Klien mengungkapkan menghabiskan setiap makanan yang diberkan
- Makan 3 x porsi habis
- Klien post op. hari ke 1
Perkembangan BB belum terpantau
Implementasi dipertahankan
Surabaya, 11 April 2002
Penyusun

laporan pendahuluan asthma bronchial

ASTHMA BRONCHIAL

Definisi
Asthma disebut juga sebagai reactive air way disease (RAD), adalah suatu penyakit obstruksi pada jalan nafas secara riversibel yang ditandai dengan bronchospasme, inflamasi dan peningkatan sekresi jalan napas terhadap berbagai stimulan.
Patofisiologi
 Astma pada anak terjadi adanya penyempitan pada jalan nafas dan hiperaktif dengan respon terhadap bahan iritasi dan stimulus lain.
 Dengan adanya bahan iritasi atau allergen otot-otot bronkus menjadi spasme dan zat antibodi tubuh muncul ( immunoglobulin E atau IgE ) dengan adanya alergi. IgE di muculkan pada reseptor sel mast dan akibat ikatan IgE dan antigen menyebabkan pengeluaran histamin dan zat mediator lainnya. Mediator tersebut akan memberikan gejala asthma.
 Respon astma terjadi dalam tiga tahap : pertama tahap immediate yang ditandai dengan bronkokontriksi ( 1-2 jam ); tahap delayed dimana brokokontriksi dapat berulang dalam 4-6 jam dan terus-menerus 2-5 jam lebih lama ; tahap late yang ditandai dengan peradangan dan hiperresponsif jalan nafas beberapa minggu atau bulan.
 Astma juga dapat terjadi faktor pencetusnya karena latihan, kecemasan, dan udara dingin.
 Selama serangan asthmatik, bronkiulus menjadi meradang dan peningkatan sekresi mukus. Hal ini menyebabkan lumen jalan nafas menjadi bengkak, kemudian meningkatkan resistensi jalan nafas dan dapat menimbulkan distres pernafasan
 Anak yang mengalami astma mudah untuk inhalasi dan sukar dalam ekshalasi karena edema pada jalan nafas.Dan ini menyebabkan hiperinflasi pada alveoli dan perubahan pertukaran gas.Jalan nafas menjadi obstruksi yang kemudian tidak adekuat ventilasi dan saturasi 02, sehingga terjadi penurunan p02 ( hipoxia).Selama serangan astmati, CO2 terthan dengan meningkatnya resistensi jalan nafas selama ekspirasi, dan menyebabkan acidosis respiratory dan hypercapnea. Kemudian sistem pernafasan akan mengadakan kompensasi dengan meningkatkan pernafasan (tachypnea), kompensasi tersebut menimbulkan hiperventilasi dan dapat menurunkan kadar CO2 dalam darah (hypocapnea).
Alergen, Infeksi, Exercise ( Stimulus Imunologik dan Non Imunologik )
V
Merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel T helper
V
IgE diikat oleh sel mastosit melalui reseptor FC yang ada di jalan napas
V
Apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastosit
V
Akibat ikatan antigen-IgE, mastosit mengalami degranulasi dan melepaskan mediator radang ( histamin )
V
Peningkatan permeabilitas kapiler ( edema bronkus )
Peningkatan produksi mukus ( sumbatan sekret )
Kontraksi otot polos secara langsung atau melalui persarafan simpatis ( N.X )
V
Hiperresponsif jalan napas

Astma

 Gangguan pertukaran gas, tidak efektif bersihan jalan nafas, dan tidak efektif pola nafas berhubungan dengan bronkospasme, edema mukosa dan meningkatnya produksi sekret.
 Fatigue berhubungan dengan hypoxia meningkatnya usaha nafas.
 Kecemasan berhubungan dengan hospitalisasi dan distress pernafasan
 Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan meningkatnya pernafasan dan menurunnya intake cairan
 Perubahan proses keluarga berhubungan dengan kondisi kronik
 Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan proses penyakit dan pengobatan

Komplikasi
 Mengancam pada gangguan keseimbangan asam basa dan gagal nafas
 Chronik persistent bronchitis
 Bronchiolitis
 Pneumonia
 Emphysema.

Etiologi
 Faktor ekstrinsik :reaksi antigen- antibodi; karena inhalasi alergen (debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang).
 Faktor intrinsik; infeksi : para influenza virus, pneumonia,Mycoplasma..Kemudian dari fisik; cuaca dingin, perubahan temperatur. Iritan; kimia.Polusi udara ( CO, asap rokok, parfum ). Emosional; takut, cemas, dan tegang. Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus.

Manifestasi klinis
 Auskultasi :Wheezing, ronki kering musikal, ronki basah sedang.
 Dyspnea dengan lama ekspirasi; penggunaan otot-otot asesori pernafasan, cuping hidung, retraksi dada,dan stridor.
 Batuk kering ( tidak produktif ) karena sekret kental dan lumen jalan nafas sempit.
 Tachypnea, orthopnea.
 Diaphoresis
 Nyeri abdomen karena terlibatnya otot abdomen dalam pernafasan.
 Fatigue.
 Tidak toleransi terhadap aktivitas; makan, bermain, berjalan, bahkan bicara.
 Kecemasan, labil dan perubahan tingkat kesadaran.
 Meningkatnya ukuran diameter anteroposterior (barrel chest) akibat ekshalasi yang sulit karena udem bronkus sehingga kalau diperkusi hipersonor.
 Serangan yang tiba-tiba atau berangsur.
 Bila serangan hebat : gelisah, berduduk, berkeringat, mungkin sianosis.
 X foto dada : atelektasis tersebar, “Hyperserated”

Pemeriksaan Diagnostik
 Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
 Foto rontgen
 Pemeriksaan fungsi paru; menurunnya tidal volume, kapasitas vital, eosinofil biasanya meningkat dalam darah dan sputum
 Pemeriksaan alergi
 Pulse oximetri
 Analisa gas darah.

Penatalaksanaan serangan asma akut :
 Oksigen nasal atau masker dan terapi cairan parenteral.
 Adrenalin 0,1- 0,2 ml larutan : 1 : 1000, subkutan. Bila perlu dapat diulang setiap 20 menit sampai 3 kali.
 Dilanjutkan atau disertai salah satu obat tersebut di bawah ini ( per oral ) :
a. Golongan Beta 2- agonist untuk mengurangi bronkospasme :
 Efedrin : 0,5 – 1 mg/kg/dosis, 3 kali/ 24 jam
 Salbutamol : 0,1-0,15 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
 Terbutalin : 0,075 mg/kg/dosis, 3-4 kali/ 24 jam
Efeknya tachycardia, palpitasi, pusing, kepala, mual, disritmia, tremor, hipertensi dan insomnia, . Intervensi keperawatan jelaskan pada orang tua tentang efek samping obat dan monitor efek samping obat.

b. Golongan Bronkodilator, untuk dilatasi bronkus, mengurangi bronkospasme dan meningkatkan bersihan jalan nafas.
 Aminofilin : 4 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
 Teofilin : 3 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
Pemberian melalui intravena jangan lebih dari 25 mg per menit.Efek samping tachycardia, dysrhytmia, palpitasi, iritasi gastrointistinal,rangsangan sistem saraf pusat;gejala toxic;sering muntah,haus, demam ringan, palpitasi, tinnitis, dan kejang. Intervensi keperawatan; atur aliran infus secara ketat, gunakan alat infus kusus misalnya infus pump.

c. Golongan steroid, untuk mengurangi pembengkakan mukosa bronkus. Prednison : 0,5 – 2 mg/kg/hari, untuk 3 hari (pada serangan hebat).

ASUHAN KEPERAWATAN

1 PENGKAJIAN
1.1 Identitas
Pada asma episodik yang jarang, biasanya terdapat pada anak umur 3-8 tahun.Biasanya oleh infeksi virus saluran pernapasan bagian atas. Pada asma episodik yang sering terjadi, biasanya pada umur sebelum 3 tahun, dan berhubungan dengan infeksi saluran napas akut. Pada umur 5-6 tahun dapat terjadi serangan tanpa infeksi yang jelas.Biasanya orang tua menghubungkan dengan perubahan cuaca, adanya alergen, aktivitas fisik dan stres.Pada asma tipe ini frekwensi serangan paling sering pada umur 8-13 tahun. Asma kronik atau persisten terjadi 75% pada umur sebeluim 3 tahun.Pada umur 5-6 tahun akan lebih jelas terjadi obstruksi saluran pernapasan yang persisten dan hampir terdapat mengi setiap hari.Untuk jenis kelamin tidak ada perbedaan yang jelas antara anak perempuan dan laki-laki.
1.2 Keluhan utama
Batuk-batuk dan sesak napas.
1.3 Riwayat penyakit sekarang
Batuk, bersin, pilek, suara mengi dan sesak napas.
1.4 Riwayat penyakit terdahulu
Anak pernah menderita penyakit yang sama pada usia sebelumnya.
1.5 Riwayat penyakit keluarga
Penyakit ini ada hubungan dengan faktor genetik dari ayah atau ibu, disamping faktor yang lain.
1.6 Riwayat kesehatan lingkungan
Bayi dan anak kecil sering berhubungan dengan isi dari debu rumah, misalnya tungau, serpih atau buluh binatang, spora jamur yang terdapat di rumah, bahan iritan: minyak wangi, obat semprot nyamuk dan asap rokok dari orang dewasa.Perubahan suhu udara, angin dan kelembaban udara dapat dihubungkan dengan percepatan terjadinya serangan asma.

1.7 Riwayat tumbuh kembang
1.7.1 Tahap pertumbuhan
Pada anak umur lima tahun, perkiraan berat badan dalam kilogram mengikuti patokan umur 1-6 tahun yaitu umur ( tahun ) x 2 + 8. Tapi ada rata-rata BB pada usia 3 tahun : 14,6 Kg, pada usia 4 tahun 16,7 kg dan 5 tahun yaitu 18,7 kg. Untuk anak usia pra sekolah rata – rata pertambahan berat badan 2,3 kg/tahun.Sedangkan untuk perkiraan tinggi badan dalam senti meter menggunakan patokan umur 2- 12 tahun yaitu umur ( tahun ) x 6 + 77.Tapi ada rata-rata TB pada usia pra sekolah yaitu 3 tahun 95 cm, 4 tahun 103 cm, dan 5 tahun 110 cm. Rata-rata pertambahan TB pada usia ini yaitu 6 – 7,5 cm/tahun.Pada anak usia 4-5 tahun fisik cenderung bertambah tinggi.

1.7.2 Tahap perkembangan.
 Perkembangan psikososial ( Eric Ercson ) : Inisiatif vs rasa bersalah.Anak punya insiatif mencari pengalaman baru dan jika anak dimarahi atau diomeli maka anak merasa bersalah dan menjadi anak peragu untuk melakukan sesuatu percobaan yang menantang ketrampilan motorik dan bahasanya.
 Perkembangan psikosexsual ( Sigmund Freud ) : Berada pada fase oedipal/ falik ( 3-5 tahun ).Biasanya senang bermain dengan anak berjenis kelamin berbeda.Oedipus komplek ( laki-laki lebih dekat dengan ibunya ) dan Elektra komplek ( perempuan lebih dekat ke ayahnya ).
 Perkembangan kognitif ( Piaget ) : Berada pada tahap preoperasional yaitu fase preconseptual ( 2- 4 tahun ) dan fase pemikiran intuitive ( 4- 7 tahun ). Pada tahap ini kanan-kiri belum sempurna, konsep sebab akibat dan konsep waktu belum benar dan magical thinking.
 Perkembangan moral berada pada prekonvensional yaitu mulai melakukan kebiasaan prososial : sharing, menolong, melindungi, memberi sesuatu, mencari teman dan mulai bisa menjelaskan peraturan- peraturan yang dianut oleh keluarga.
 Perkembangan spiritual yaitu mulai mencontoh kegiatan keagamaan dari ortu atau guru dan belajar yang benar – salah untuk menghindari hukuman.
 Perkembangan body image yaitu mengenal kata cantik, jelek,pendek-tinggi,baik-nakal, bermain sesuai peran jenis kelamin, membandingkan ukuran tubuhnya dengan kelompoknya.
 Perkembangan sosial yaitu berada pada fase “ Individuation – Separation “. Dimana sudah bisa mengatasi kecemasannya terutama pada orang yang tak di kenal dan sudah bisa mentoleransi perpisahan dari orang tua walaupun dengan sedikit atau tidak protes.
 Perkembangan bahasa yaitu vokabularynya meningkat lebih dari 2100 kata pada akhir umur 5 tahun. Mulai bisa merangkai 3- 4 kata menjadi kalimat. Sudah bisa menamai objek yang familiar seperti binatang, bagian tubuh, dan nama-nama temannya. Dapat menerima atau memberikan perintah sederhana.
 Tingkah laku personal sosial yaitu dapat memverbalisasikan permintaannya, lebih banyak bergaul, mulai menerima bahwa orang lain mempunyai pemikiran juga, dan mulai menyadari bahwa dia mempunyai lingkungan luar.
 Bermain jenis assosiative play yaitu bermain dengan orang lain yang mempunyai permainan yang mirip.Berkaitan dengan pertumbuhan fisik dan kemampuan motorik halus yaitu melompat, berlari, memanjat,dan bersepeda dengan roda tiga.
1.8 Riwayat imunisasi
Anak usia pre sekolah sudah harus mendapat imunisasi lengkap antara lain : BCG, POLIO I,II, III; DPT I, II, III; dan campak.
1.9 Riwayat nutrisi
Kebutuhan kalori 4-6 tahun yaitu 90 kalori/kg/hari.Pembatasan kalori untuk umur 1-6 tahun 900-1300 kalori/hari. Untuk pertambahan berat badan ideal menggunakan rumus 8 + 2n.
Status Gizi
Klasifikasinya sebagai berikut :
 Gizi buruk kurang dari 60%
 Gizi kurang 60 % - <80 %
 Gizi baik 80 % - 110 %
 Obesitas lebih dari 120 %

1.10 Dampak Hospitalisasi
Sumber stressor :
1. Perpisahan
a. Protes : pergi, menendang, menangis
b. Putus asa : tidak aktif, menarik diri, depresi, regresi
c. Menerima : tertarik dengan lingkungan, interaksi
2. Kehilangan kontrol : ketergantungan fisik, perubahan rutinitas, ketergantungan, ini akan menyebabkan anak malu, bersalah dan takut.
3. Perlukaan tubuh : konkrit tentang penyebab sakit.
4. Lingkungan baru, memulai sosialisasi lingkungan.

1.11 Pemeriksaan Fisik / Pengkajian Persistem
1.11.1 Sistem Pernapasan / Respirasi
Sesak, batuk kering (tidak produktif), tachypnea, orthopnea, barrel chest, penggunaan otot aksesori pernapasan, Peningkatan PCO2 dan penurunan O2,sianosis, perkusi hipersonor, pada auskultasi terdengar wheezing, ronchi basah sedang, ronchi kering musikal.
1.11.2 Sistem Cardiovaskuler
Diaporesis, tachicardia, dan kelelahan.
1.11.3 Sistem Persyarafan / neurologi
Pada serangan yang berat dapat terjadi gangguan kesadaran : gelisah, rewel, cengeng → apatis → sopor → coma.
1.11.4 Sistem perkemihan
Produksi urin dapat menurun jika intake minum yang kurang akibat sesak nafas.
1.11.5 Sistem Pencernaan / Gastrointestinal
Terdapat nyeri tekan pada abdomen, tidak toleransi terhadap makan dan minum, mukosa mulut kering.
1.11.6 Sistem integumen
Berkeringat akibat usaha pernapasan klien terhadap sesak nafas.

2 DIAGNOSA KEPERAWATAN, TUJUAN, KRITERIA HASIL, RENCANA INTERVENSI
1. Gangguan pertukaran gas, tidak efektif bersihan jalan nafas, dan tidak efektif pola nafas berhubungan dengan bronkospasme, udem mukosal dan meningkatnya sekret.
Tujuan : Anak menunjukkan pertukaran gas yang normal, bersihan jalan nafas yang efektif dan pola nafas dalam batas normal.
Kriteria hasil : PO2 dan CO2 dalam batas nilai normal, tidak sesak nafas, batuk produktif, cianosis tdak ada, tidak ada tachypnea,ronki dan wheesing tidak ada
Intervensi :
• Pertahankan kepatenan jalan nafas; pertahankan support ventilasi bila diperlukan ( oksigen 2 ml dengan kanule ).
• Kaji fungsi pernafasan; auskultasi bunyi nafas, kaji kulit setiap 15 menit sampai 4 jam.
• Berikan oksigen sesuai program dan pantau pulse oximetry.
• Kaji kenyamanan posisi tidur anak.
• Monitor efek samping pengobatan; monitor serum darah;theophyline dan catat kemudian laporkan dokter. Normalnya 10-20 ug/ml pada semua usia.
• Berikan cairan yang adekuat per oral atau peranteral
• Pemberian terapi pernafasan; nebulizer, fisioterapi dada, ajarkan batuk dan nafas dalam efektif setelah pengobatan dan pengisapan sekret ( suction ).
• Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan pada anak untuk menurunkan kecemasan.
• Berikan terapi bermai sesuai usia.
2. Fatigue berhubungan dengan hipoksia dan meningkatnya usaha nafas.
Tujuan : Anak tidak tampak fatigue.
Kriteria : Tidak iritabel, dapat beradaptasi dan aktivitas sesuai dengan kondisi.
Intervensi :
• Kaji tanda dan gejala hypoxia; kegelisahann fatigue, iritabel, tachycardia, tachypnea.
• Hindari seringnya melakukan intervensi yang tidak penting yang dapat membuat anak lelah, berikan istirahat yang cukup.
• Intrusikan pada orang tua untuk tetap berada didekat anak.
• Berikan kenyamanan fisik; support dengan bantal dan pengaturan posisi.
• Berikan oksigen humidifikasi sesuai program.
• Berikan nebulizer; kemudian pantau bunyi nafas, dan usaha nafas setelah terapi.
• Setelah krisis, ajarkan untuk aktivitas yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan untuk meningkatkan ventilasi,dan memperluas perkembangan psikososial.
3. Kecemasan berhubungan dengan hospitalisasi dan distres pernafasan.
Tujuan : Kecemasan menurun
Kriteria : Anak tenang dan dapat mengekspresikan perasaannya, orang tua merasa tenang dan berpartisipasi dalam perawatan anak.
• Ajarkan teknik relaksasi; latihan nafas, melibatkan penggunaan bibir dan perut, dan ajarkan untuk berimajinasi.
• Pertahankan lingkungan yang tenang ; temani anak, dan berikan support.
• Ajarkan untuk ekspresi perasaan secara verbal
• Berikan terapi bermain sesuai dengan kondisi.
• Informasikan tentang perawatan, pengobatan dan kondisi anak.
• Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan.
4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan meningkatnya pernafasan dan menurunnya intake cairan.
Goal : Status hidrasi adekuat
Kriteria : Turgor kulit elastis, membran mukosa lembab, intake cairan sesuai dengan usia dan berat badan, output urine > 2 ml/ kg per jam.
• Monitor intake dan output, mukosa membran, turgor kulit, pengeluaran urin, ukur grapitasi urin atau berat jenis urin ( nilai 1.003-1030 ).
• Monitor elektrolit
• Kaji warna sputum, konsistensi dan jumlah
• Pertahankan terapi parenteral bila indikasi, dan monitor kelebihan caiaran ( overload )
• Berikan intake cairan per oral bila toleran, hati-hati minuman yang dapat meningkatkan bronkospasme ( air dingin ).
• Setelah fase akut, ajarkan anak dan orang tua untuk minum 3-8 gelas (750-2000 ml), tergantung usia dan berat badan.
5. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan kondisi kronik.
Goal : Orang tua mendemonstrasikan koping yang tepat
Kriteria : Mengekspresikan perasaan dan perhatian serta memberikan aktivitas yang sesuai usia atau kondisi dan perkembangan psikososial pada anak.
• Berikan kesempatan pada orang tua untuk ekspresi perasaan.
• Kaji mekanisme koping sebelumnya pada waktu stress
• Jelaskan prosedur dan pengobatan yang diberikan
• Informasikan kepada orang tua tentang kondisi anak
• Identifikasi sumber-sumber psikososial keluarga dan finansial
6. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan proses penyakit dan pengobatan.
Goal : Orang tua secara verbal memahami proses penyakit dan pengobatan dan mengikuti regimen terapi yang diberikan.
Kriteria : Berpartispasi dalam memberikan perawatan pada anak sesuai dengan program medik atau perawatan, misalnya memberikan makan dan minum yang cukup, memberi minum obat oral pada anak sesuai program.
• Kaji pengetahuan anak dan orang tua tentang penyakit, pengobatan dan intervensi.
• Bantu untuk mengidentifikasi faktor pencetus.
• Jelaskan tentang emosi dan stres yang dapat menjadi faktor pencetus.
• Jelaskan tentang pentingnya pengobatan; dosis, efek samping, waktu pemberian dan pemeriksaan darah.
• Informasikan tanda dan gejala yang harus dilaporkan dan kontrol ulang.
• Informasikan pentingnya program aktivitas dan latihan nafas.
• Jelaskan tentang pentingnya terapi bermain sesuai usia.

Perencanaan Pemulangan
 Jelaskan proses penyakit dengan menggunakan gambar-gambar atau phantom.
 Fokuskan pada perawatan mandiri di rumah.
 Hindari faktor pemicu; kebersihan lantai rumah, debu-debu, karpet, bulu binatang dan lainnya.
 Jelaskan tanda-tanda bahaya akan muncul.
 Ajarkan penggunaan nebulizer.
 Keluarga perlu memahami tentang pengobatan; nama obat, dosis, efek samping, waktu pemberian.
 Ajarkan strategi kontrol kecemasan, takut dan stress.
 Jelaskan pentingnya istirahat dan latihan, termasuk latihan nafas.
 Jelaskan pentingnya intake cairan dan nutrisi yang adekuat.

DAFTAR PUSTAKA

Panitia Media Farmasi dan Terapi. (1994). Pedoman Diagnosis dan Terapi LAB/UPF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya
Soetjningsih. (1998). Tumbuh kembang anak . Cetakan kedua. EGC. Jakarta
Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (1985). Ilmu Kesehatan Anak. Percetakan Infomedika Jakarta.
Suriadi dan Yuliana R.(2001) Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi 1 Penerbit CV Sagung Seto Jakarta.